BAB I
PENDAHULUAN
Tidak di ragukan lagi bahwa
Alqur’an adalah kalamullah, bukan perkataan manusia. Firman tersebut
berbentuk wahyu yang di sampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk umat manusia sebagai
petunjuk yang di bukukan dalam satu kitab. Alqur’an merupakan sumber utama dan
pertama dari ajaran islam. Setiap umat islam wajib meyakini wujud dan
kebenarannya. Dalam pandangan Az-Zarqani, alqur,an adalah penutup semua kitab
yang di turunkan Allah dan di turunkan kepada
semua penutup nabi. Ia menjadi kitab suci yang bersifat umum dan abadi.
Ia juga merupakan ajaran akhlak untuk
kemaslahatan makhluk; menjadi petunjuk bagi penghuni langit dan bumi.
Mengenai kalamullah, tentunya
terdapat asbab an- nuzul (sebab- sebab turunnya ayat Alquran) itu sendiri, dan terdapat
sekelompok ulama yang menyusun kitab secara khusus tentang sababun nuzul.
Ulama yang pertama kali menyusun
adalah Ali Ibnul Madini, guru Imam Bukhari. Di antara yang paling popular
adalah kitab al-Wahidi, betapapun di dalam kitab itu terdapat
kekurangan, dan kitab itu telah diringkas oleh al-Ja’bari yang membuang sanad-
sanadnya dan tidak menambah sedikitpun.[1]
Para ulama islam sangat
memahami bahwa Al-qur’an tidak di turunkan kepada nabi muhammad sekaligus dalam bentuk satu kitab seperti
yang dilihat sekarang. Alqur’an di turunkan secara bertahap, terkadang hanya
satu ayat, terkadang hanya beberapa ayat, namun ada juga yang turun dalam satu
surah, ada ayat yang berhubungan dengan peristiwa, dan ada pula yang berbentuk
suatu cerita atau ajaran tanpa di hubungkan dengan peristiwa apapun ketika itu.
Realitas ini tampaknya menyebabkan Az- Zarqani membagi turunnya ayat Al-qur’an
itu menjadi dua bagian yaitu bagian yang di turunkan tanpa adanya hubungan
sebab, dan bagian yang ada hubungannya dengan suatu sebab. Namun demikian,
seyogyanya, kita harus memahami semua turunnya ayat al-qur’an, pasti berkaitan
dengan situasi dan kondisi saat itu, baik memiliki hubungan dengan ayat
al-qur’an yang turun tersebut atau tidak. Situasi itu mungkin berbentuk
kejadian umum, mungkinberbentuk pernyataan, mungkin berbentuk perbuatan orang
dan sebagainya.
Oleh kerena itu, agar
Al-qur’an benar benar menjadi petunjuk dalam kehidupan, di butuhkan penjelasan
dari Nabi dan para sahabatnya dan dari ulama. Agar sahabat Nabi dan para ulama dapat memberi penjelasan
sesuai dengan maksud turunnya ayat tersebut, selain dari pengetahuan bahasanya mereka harus mengetahui
dan memahami dalam situasi dan kondisi seperti apa ayat itu turun. Oleh sebab
itu, hampir semua yang berkenaan dengan Al-qur’an menekankan pentingnya asbab
an-nuzul (alasan pewahyuan).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab an- nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata“asbab”dan
“nuzul”. Secara
etimologis Asbabunnuzul terdiri dari kata “اسباب” (bentuk plural dari kata “سبب”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/illat
(Almunawwir,1997:602), sedangkan kata “نزول” berasal dari kata “نزل” yang berarti turun (Al munawwir,1997:1409). Asbabunnuzul dalam
ilmu Al-Qur’an secara bahasa berarti sebab-sebab turunnya (ayat-ayat) Al-Qur’an.[2] Jadi, secara pengertian , asbab an-nuzul adalah sebab- sebab yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu
dapat di sebut asbab an- nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an- nuzul khusus
dipergunakan untuk menyatakan sebab sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-
Qur’an.[3]
Banyak pengertian termenologi
yang dirumuskan oleh para ulama, di antaranya:
a.
Menurut
Az-Zarqani “asbab an- nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada
hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat
peristiwa itu terjadi.”
b.
Ash-Shabuni
“asbab an-nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu
atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian
tersebut, baik pertanyaan yang di ajukan kepada nabi muhammad atau kejadian
yang berkaitan dengan urusan agama.”
c.
Shubhi Shalih
“Asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa
ayat al- qur’an ( ayat- ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu itu,sebagai
respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum hukum di saat peristiwa
itu terjadi.”[4]
d.
Mana’
Al-Qthathan: “ asbab an-nuzul adalah peristiwa peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat al-qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik
berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang di ajukan kepada Nabi.”[5]
e. M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabunnuzul
sebagai “kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan
hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya al-Qur’an
diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung
sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah”.[6]
Menurut
Bahasa “asbab al-nuzul” berarti
turunnya ayat ayat al-qur’an. Al-qur’an di turunkan Allah SWT. kepada Nabi
Muhammad SAW secara berangsur angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Al-
qur’an di turunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulan
manusia yang sudah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kerena itu, dapat di
katakan bahwa terjadinya penyimpangan
dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia merupakan sebab turunnya ayat
al-Qur’an. Shubhi Al-Shalih memberikan defenisi sebab al-nuzul sebagai berikut:
“Sesuatu yang dengan sebabnya
turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi
jawaban terhadap sebab itu, atau memberi
jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya
itu.”
Defenisi
ini memberikan pengertian bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk
peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat ayat atau beberapa ayat turun untuk
menerangkan hal yang berhubungan dengan
peristiwa tertentu memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Sebab
sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga macam.
Pertama, peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk
antara segolongan Aus san segolongan dari Khajraz. Perselisihan itu timbuldari
intrik intrik yang di tiupkan oleh orang yahudi sehingga mereka berteriak
teriak: “ senjata-senjata”.peristiwa itu menyebabkan turunnya beberapa
ayat surah Ali Imran mulai dari firman Allah:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä bÎ) (#qãè‹ÏÜè? $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# Nä.r–Šãtƒ y‰÷èt/ öNä3ÏZ»oÿ‡Î) tûïÌÏÿ»x. ÇÊÉÉÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab,
niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu
beriman.”( Q.S.
Ali Imran: 100)
Ayat di atas merupakan cara terbaik
untuk menjauhkan orang-orang dari perselisihan dan merangsang orang kepada
sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
Kedua,
perisiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seseorang yang mengimani salat sedang mabuk sehingga
tersalah membaca surah Al-kafirun. Ia baca
ö@è% $pkš‰r'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$# . ߉ç6ôã & $tB tbr߉ç7÷ès? ÇËÈ
dengan tanpa لا pada
pada ayat kedua tersebut, peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ß™ 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? ÇÍÌÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan.....................
( Q.S.An-nisa :43)
Ketiga
: peristiwa itu berupa cita- cita dan keinginan, seperti persesuaian
–persesuaian (muwafaqat )umar bin khattab dengan ketentuan ayat ayat al-
qur’an, dalam sejarah ada beberapa harapan umar yang di kemukakan nabi
muhammad. Kemudian turun ayat kandungannya sesuai dengan harapan- harapan umar
tersebut. Sebagian ulama menulisnya secara khusus. Sebagai contoh imam
Al-Bukhari dan lainnya meriwayatkandari Anas ra.bahwa umar berkata: “ aku
sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal: Aku katakan kepada Rasul, bagaimana
sekiranya kita jadikanmakam ibrahim tempat shalat.
Adapun sebab- sebab turun ayat dalam
bentuk pertanyaan dapat di kelompokkan tiga macam:
Pertama: pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu
yang telah lalu, seperti ayat:
štRqè=t«ó¡o„ur `tã “ÏŒ Èû÷ütRös)ø9$# (........... ÇÑÌÈ
“Mereka
akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. (Q.S. Al- kahfi:83)
kedua: pertanyaan yang
berhubungan dengan sesuatu yang berlangsung pada waktu itu, seperti ayat:
štRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã Çyr”9$# ( È@è% ßyr”9$# ô`ÏB ÌøBr& ’În1u‘ !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
“Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".( Q.S Al- isra: 85)
Ketiga: pertanyaan yang
berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti ayat:
y7tRqè=t«ó¡o„ Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$ƒr& $yg9y™öãB ÇÍËÈ
“ Mereka (orang-orang
kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah
terjadinya?”( Q.S An- Naziat: 42)
Defenisi di atas merupakan pembatasan yang harus ada
untuk membedakannya dari ayat ayat turun tanpa sebab, sekalipun ayat ayat itu
berbicara tentang peristiwa peristiwa dan kejadian masa lalu atau yang akan
datang, seperti sebagian kisah para nabi dan bangsa bangsa terdahulu dan
pembicara tentang hari kiamat, serta hal yang berkaitan dengannya, namun kisah
kisah dan hal hal yang berkaitan dengannya, namun kisah kisah dan hal hal hari
kiamat itu bukan sebab turunnya ayat tersebut.
Sabab al- Nuzul yang di kemukkakan
di atas membawa kepada pembagian ayat – ayat al-qur’an kepada dua kelompok.
Pertama,
kelompok yang turun tanpa sebab dan kedua adalah kelompok yang turun dengan
sebab tertentu.[7]
Dan menurut Manna’ Khalil al- Qattan defenisi sebab turunnya suatu ayat
Qur’an berkisar dua hal:
1. Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat
Qur’an mengenai peristiwa itu.
2. Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka
turunlah ayat Quran menerangkan hukumnya.[8]
Pengertian menurut istilah
asbab an-nuzul berarti sebab- sebab turun ayat.dalam pengertian sedarhana,
turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya
peristiwa itu, ayat tersebut tidak turun. Jika memang begitu pengertiannya,
tidaklah sesuai dengan hakikat al-qur’an itu sendiri, sebab ayat itu sudah
adadan lengkap di lauh mahfuzh di ciptakan oleh Allah, di bawa oleh
malaikat Jibril dan di sampaikan kepada nabi, maksud Allah menurunkan ajaran itu
dalam bentuk wahyu ( ayat ), tentu tidak di ikat atau di hukum oleh alam yang
berbentuk peristiwa itu, sehingga tanpa sebab peristiwa alam ini, suatu ayat
Al-Qur’an itu tidak turun. Hal itu tidak sesuai dengan sifat Allah yang
Mahakuasa. Allah tidak terikat dengan makhluk dalam menyampaikan rencana dan
kehendak-Nya.[9]
Menurut
Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-Irfan fi Ulum Al-Quran, yang
dimaksud dengan istilah asbab nuzul
adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi mengiringi ayat-ayat itu diturunkan
untuk membicarakan peristiwa tersebut, atau menjelaskan ketentuan hukumnya.
Sementara menurut Manna Al-Qahtan asbab nuzul menurut istilah adalah sebagai peristiwa yang
menyebabkan ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan waktu kejadian peristiwa
tersebut, baik berupa pertanyaan maupun kasusu-kasus tertentu.[10]
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas
dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat, yaitu :
1. Ayat turun ketika terjadi suatu peristiwa, yakni mengenai pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita &
harapan.
Sebagaimana
diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi SAW untuk
memperingatkan kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW naik ke bukit Shafa dan
memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu Abu Lahab
berkata, “Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan
ini?”, lalu ia berdiri. Maka turunlah surat Al-Lahab.
2. Ayat turun ketika Rasulullah ditanya tentang
sesuatu hal, yakni mengenai pertanyaan tentang masa lalu,
masa yang sedang berlangsung, dan masa yang akan datang.
Ketika
orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi SAW tentang apa itu roh. Pertanyaan
mereka kemudian direkam dalam Al-Qur'an, Yas alunaka ani ruh, (mereka
bertanya kepadamu Muhammad tentang roh), kemudian dijawab Allah, quli ruhu
min amrillah, katakan olehmu Muhammad bahwa roh itu semata-mata urusan
Allah. Apa yang kalian ketahui hanyalah sedikit dari ilmu yang Allah berikan
kepada kalian.[11]
Sedangkan menurut pakar tafsir di Indonesia M.
Quraish Shihab, asbabubun nuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga
seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat itu
tidak akan turun. Pemakaian kata asbab bukanlah dalam arti yang sebenarnya.
Tanpa adanya suatu peristiwa, Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai
dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti turunnya ayat Al-Qur’an
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena Al-Qur’an tidak berbentuk
fisik atau materi. Pengertian turun menurut para mufassir, mengandung
pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya,
Muhammad SAW, dari alam ghaib ke alam nyata melalui malaikat Jibril.[12]
B.
FUNGSI DAN KEGUNAAN ASBAB AN- NUZUL
Dengan
memperhatikan pengertian, ruang lingkup pembahasan dan materi yang dibahas,
kita dapat menentukan fungsi asbab an-nuzul ini dalam ilmu tafsir, yaitu sebagai pengetahuan
membantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat al- qur’an
menjadi pelajaran yang praktis yang dapat dan mudah di amalkan dalam kehidupan
sehari hari.
Adapun
kegunaan banyak di sebutkan oleh para ahli ilmu tafsir. Dalam kitab Al-itqan
dapat kita baca kaidahnya yaitu:
1. Mengetahui hikmah yang timbul ketika Allah
mensyariatkan ajaran dengan ayat yang di turunkan.
2. Kekhususan
hukum pada peristiwa (sebab) turunnya ayat (ini bagi mereka yang berpendapat
bahwa yang di pegang ialah ke khususan sebab, bukan ke umuman lafazh
3. Bahwa
kadang – kadang teks ayat menggunakan lafazh yang umum dan sebab nuzul,
merupakan ke khususan sebagai satu contoh.
4. Ibn
Daqiqil’id berpendapat bahwa sebab nuzul itu merupakan cara yang kuat dalam memahami alqur’an.
5. Ibn
Taimiyah menganggap bahwa pengetahuan sebab nuzul itu menjelaskan pemahaman
ayat,kerena tahu sebab, akan mengakibatkan tahu pula penyebabnya
6. Menolak
keraguan pada kekhususan arti yang dapat dalam teks ayat.
Az-Zarqani menuturkan faedah yang hampir sama
dengan yang ada dalam At-itqan dengan sedikit perbedaan redaksi dan
tambahan. Faedah yang dikemukakan Az- Zarqani itu adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
tentang hikmah Allah secara jelas dalam mensyariatkan hukum melalui ayat yang di turunkan-Nya itu.
2. Menolong
untuk memahami ayat dan mengurangi, kesulitan memahaminya.
3. Menolak
keragu-raguan pada kekhususan arti yang tersebut dalam ayat.
4. Mengetahui
kekhususan hukum pada sebab (peristiwa) yang menyebabkan ayat itu turun.
5. Mengetahui
peristiwa yang menjadi sebab nuzul ayat itu, hukumnya tidak keluar dari hukum
ayat.
6. Mengetahui
orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat itu secara jelas.
7. Memudahkan
untuk menghapal dan memahami ayat yang turun itu.[13]
C.
MACAM MACAM ASBAB AN- NUZUL
1.
Ada dua jenis
yang di gunakan oleh para perawi dalam menggunakan asbab An- nuzul yaitu:
a. Sharih (visionable/jelas)
Artinya riwayat
yang memang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul dengan indikasi menggunakan
lafal (pendahuluan), dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Redaksi
yang digunakan termasuk sharih bila perawinya mengatakan:
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah .....
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat .....
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.
b. Muhtamilah (masih
kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum
dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan. Adapun
redaksi yang di gunakan bila perawinya mengatakan:
نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
احسب هذه الآية نزلت فىكذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما احسب نزلت هذه الآية الا فىكذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)[14]
D.
URGENSI DAN KEGUNAAN ASBAB AN-NUZUL
Az-Zarqani
dan As- Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui
asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia- sia dalam memahami Al-qur’an. Mereka
beranggapan bahwa mencoba memahami Al-qur’an dengan meletakkan ke dalam konteks
historis adalah sama dengan membatasi pesan pesannya pada ruang dan waktu
tertentu. Namun, keberatan ini tidaklah berdasar, kerena tidak mungkin
menguniversalkan pesan Al-qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali
melaluipemahaman yang semestinya terhadap makna Al-qur’an dalam konteks
kesejarahannya.
Sementara
itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejahteraan yang terakumulasi
dalam riwayat riwayat asbab An-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk
memahami pesan pesan Al-qur’an. Dalam satu statemennya, Ibn Taimiyah
menyatakan:
“Asbab
An-Nuzul sangat menolong dalam menginterpretasi Al-qur’an”
Ungkapan
senada dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘Ied dalam pernyataannya:
“penjelasan
terhadap asbab An-Nuzul merupakan metode yang kondusif untuk
menginterprestasikan makna-makna Al-Qur’an”.
Bahkan
Al-Wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa
mempertimbangkan aspek kisah dan Asbab An-Nuzul.
Urgensi
pengetahuan akan asbab An-Nuzul dalam memahami Alqur’an yang di perlihatkan
oleh para ulama salaf ternyata mendapat dukungan dari para ulama khalaf.
Menarik untuk di kaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang mengambarkan Al-Qur’an
sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan
sepersepuluh dari bagiannya terendam di bawah perairan sejarah. Dan
hanya sepersepuluhnya dapat dilihat.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani
mengemukakan urgensi asbab An-Nuzul dalam memahami Alqur’ansebagai berikut:
1. Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat
ayat alqur’an.
2. Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3. Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa
yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus As-sabab)
dan bukanlah lafaz yang bersifat umum(umum allafaz).
4. Mengidentifikasi
pelaku yang menyebabkan ayat Al-qur’an turun.
5. Memudahkan
untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk menatapkan wahyu kedalam hati
orang yang mendengarnya.[15]
E. CARA
MENGETAHUI ASBAB- AN- NUZUL
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain
untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatnya (pentransmisian)
yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar
langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.
Al-wahidi
berkata :
لا يحل القول
فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدواالتنزيل ووقفوا على الاسباب
وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh
memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar
riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan
dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Para ulama salaf sangatlah keras dan
ketatdalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul,
ketetatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (
para rawi) sumber riwayat (isnad) dan redaksi berita (matan).[16]
F.
SUMBER- SUMBER ASBAB AN-NUZUL
Satu satunya cara untuk mengetahui asbab an-nuzul
adalah dengan mengetahui periwayatannya dan mendengarkan dari generasi yang
menyaksikan langsung turunnya Al-qur’an yang mengetahui asbab an-nuzul
dan dapat menjelaskan maksud maksudnya. Muhammad bin Sirin pernah bertanya
kepada Ubaidah tentang satu ayat Alqur’an. Ubaidah menjawab,”Bertakwalah kepada
Allah dan berkatalah yang benar. Generasi yang mengetahui asbab an-nuzul,
telah pergi.” Para sahabat adalah sumber utama untuk mengetahui asbab
an-nuzul, sedangkan generasi sesudahnya hanya cukup dengan menukil. Para
sahabat mengetahui indikasi indikasi yang tersimpan dalam ketentuan ketentuan
hukum kerena mereka telah bersama sama dengan Nabi. Mereka mengetahui tindak
tanduk Nabi dan menaati setiap ketentuan ayat yang turun kepada beliau. Di
samping itu,mereka langsung menyaksikan turunnya al_qur’an.[17]
G.
REDAKSI REDAKSI ASBAB AN-NUZUL
Redaksi dari riwayat- riwayat yang valid tidak selalu berupa
nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan asbab al-nuzul
suatu ayat. Redaksi redaksi itu, diantaranya ada yang berupa pernyataan yang
jelas, ada pula berupa pernyataan samar samar.[18]
Terhadap ungkapan para sahabat misalnya “ayat ini di
turunkan dalam persoalan ini....” para ulama berbeda pendapat: Apakah
menunjukkan Musnad yang berarti juga menunjukkan asbab an-nuzul
atau menunjukkan penafsiran saja. Al-Bukhari memasukkannya dalam asbab
an-nuzul, sedangkan yang lainnya tidak. Umumnya kitab kitab musnad menunjuk
istilah di atas, seperti Musnad Ahmad dan yang lainnya. Hal itu berbeda
apabila dalam ungkapan para sahabat
mengungkapkan terlebih dahulu tentang sebuah sebab lalu menyebutkan ayat
yang turun. Untuk ungkapan sahabat semacam ini, semua ulama menyepakati sebagai
asbab an-nuzul.
Dalam Al-Burhan, Az-Zarkasyi menuturkan bahwa
merupakan kebiasaan yang cukup dikenal apabila para sahabat dan tabi’in
mengatakan, “ayat ini di turunkan dalam persoalan ini...” maka maksudnya ayat
adalah ayat itu mengandung ketentuan hukum ini... Dan bukan dimaksudkan untuk
menunjukkan asbab an-nuzul . hal ini termasuk persoalan mengambil
ketentuan hukum pada suatu ayat, bukan persoalan perincian latar belakang
turunnya.[19]
H.
PERLUNYA PENGETAHUAN TENTANG SEBAB
AL-NUZUL DALAM MEMAHAMI ALQUR’AN
Mempelajari dan mengetahui sabab Al-Nuzul bagi turunnya
al-qur’an sangat penting, terutama dalam
memahami ayat- ayat yang menyangkut hukum. Para ulama telah menulis beberapa
kitab khusus tentang sebab- sebab turunnya ayat – ayat al-qur’an dan menekankan
pentingnya mengetahui asbab an nuzul
dengan pernyataan pernyataan yang tegas. Di antaranya kitab yang paling
populer membahas ilmu ini adalah kitab Asbab Al- Nuzul karangan Al- Wahidi (wafat 427 H), dan
As-Suyuti ( wafat 991 H.) menulis kitabnya Lubab Al-Nuqul Fi Asbab Al-Nuzul.
Tentang perlunya mengetahui asbab Al-Nuzul, Al-Wahidi berkata: “ Tidak mungkin
kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya
ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami ayat Al-Qur’an. Sebab, pengetahuan
tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Sebagai contoh tentang bahaya menafsirkan Al-Qur’an tanpa
mengetahui sebab turunnya ialah penafsiran Usmab bin Mazun dan Amr bin Ma’addi
kariba terhadap ayat:
}§øŠs9 ’n?tã šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Óy$uZã_ $yJŠÏù (#þqßJÏèsÛ #sŒÎ) $tB (#qs)¨?$# (#qãZtB#uä¨r (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# §NèO (#qs)¨?$# (#qãZtB#uä¨r §NèO (#qs)¨?$# (#qãZ|¡ômr&¨r 3 ª!$#ur =Ïtä† tûüÏYÅ¡ósçRùQ$# ÇÒÌÈ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah
mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S Al-Maidah 93)
Mereka membolehkan minum khamar
berdasarkan ayat ini. As Suyuti berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui
sebab turunnya ayat ini. Tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab,
Ahmad, An-Nasai, dan lainnya meriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah
orang orang yang ketika minum Khamar diharamkan mempertanyakan kaum muslimin
yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya minum Khamar.
Kekeliruan yang serupa terjadi juga
kepada Marwah bin Alhakam dalam memahami ayat tanpa mengetahui sebab
turunnya ia memahami turunnya.
Ÿw ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿtƒ !$yJÎ/ (#qs?r& tbq™6Ït䆨r br& (#r߉yJøtä† $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿtƒ Ÿxsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy—$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#x‹yèø9$# ( öNßgs9ur ë>#x‹tã ÒOŠÏ9r& ÇÊÑÑÈ
“ janganlah sekali-kali
kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka
kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka
siksa yang pedih”.
( Q.S Ali-Imran 188)
Sebagai ancaman bagi orang
–orang Mukmin. Kerena itu, ia menyuruh penjaganya menanyakan kepada Ibnu Abbas.
Sekiranya setiap orang yang gembira dengan apa yang diberikan kepadanya dan
senang dipuji dengan apa yang di lakukannya disiksa? Ibnu Abbas menjawab: “Apa hubungan kamu dengan ayat ini? Hanya saja, Nabi memanggil orang orang yahudi
dan menanyakannya dari Nabi. Dan
menceritakan hal lain kepada Nabi. Dalam hal itu, mereka memperlihatkan kepada
Nabi bahwa mereka berhak pujian atas apa yang mereka berikan kepadanya. Mereka
merasa gembira dengan kemampuan mereka menyembunyikannya. Kemudian, ibnu Abbas
membacakan ayat:
øŒÎ)ur x‹s{r& ª!$# t,»sVŠÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# m¨Zä^ÍhŠu;çFs9 Ä......¨$¨Z=Ï9¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿtƒ !$yJÎ/ (#qs?r& tbq™6Ït䆨r br& (#r߉yJøtä† $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿtƒ ........
“dan (ingatlah), ketika
Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):
"Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, sampai
kepada”.....gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka
supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan .........” ( Q.S
Ali- Imran 187-188)
Dari dua contoh yang dikemukakan ini
dapat dipahami betapa bahayanya memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab
turunnya. Namun demikian sebagaimana telah di terangkan sebelumnya tidak semua
ayat al-Qur’an harus mempunyai sebab turun. Ayat ayat yang mempunyai sebab
turun juga tidak semuanya harus di ketahui sehingga tanpa mengetahuinya ayat
tersebut bisa di pahami.[20]
I. KISAH NUZUL AYAT
Menanamkan sebab
turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sesungguhnya mengisyaratkan kepada dzauq
(perasaan) yang tinggi. Sebenarnya, asbab an-nuzul tidak lain dari pada kisah yang dipetik dari
kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya maupun mengenai orang-
orangnya. Dan kisah nuzul mendorong kita untuk membaca kisah itu setiap masa
dan tempat serta menghilangkan kejemuan, kerena kita merasakan bahwa kisah
kisah (kejadiaan-kejadian itu) seolah- olah baru saja terjadi.[21]
J.
Kaedah yang Terkait dengan Asbabun nuzul.
Ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa
ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbabunnuzul yang membawa implikasi
cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut, yakni:
1. العبرة بعموم اللفظ لا
بخصوص السبب(yang menjadi patokan adalah
keumuman lafadz, bukan karena sebab yang khusus), ini adalah pendapat yang
dianut oleh jumhur ulama.
2. العبرة بخصوص السبب لا
بعموم اللفظ(yang menjadi patokan
adalah sebab khusus, bukan keumuman lafadz). Kaidah ini berkaitan dengan
permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang
khusus harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya
terbatas pada khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.
Dalam masalah tersebut terdapat perbedaan
pendapat di kalangan mufassir dan ahli ushul fiqh. Menurut jumhur ulama tafsir
dan ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah yang pertama, yaitu: memahami
ayat dengan keumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya. Implikasinya
adalah, walaupun satu atau beberapa ayat diturunkan pada suatu kasus, maka
hukumnya berlaku secara umum sesuai dengan kandungan lafalnya, dan berlaku
secara luas dalam kasus yang sama. Sebagai contoh ayat dzihar yang turun untuk
menjelaskan hukum yang berkaitan dengan ucapan Salmah bin Shakhr, ayat li’an
turun dalam perkara Hilal bin Umayyah serta ayat qodzaf atas orang-orang yang
menuduh Aisyah, namun kemudian hukum ayat-ayat tersebut diatas berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan seperti mereka.[22]
Adakalanya memang ayat turun karena sebab khusus
dan menerangkan tentang seseorang secara khusus, seperti firman Allah: “Dan
akan menjauhinya orang yang paling bertaqwa, yang selalu memberikan harta
bendanya untuk membersihkan diri”. Menurut para mufassirin yang dimaksud dalam
ayat ini adalah Abu Bakar Asshiddiq, orang yang paling bertaqwa setelah
Rasulullah, penggunaan kata (kalimah) dalam bentuk makrifah (dengan alif dan
lam ta’rif) menunjukkan orang tertentu dan itu hanya satu orang yang tidak lain
adalah Abu Bakar Asshiddiq. Pendapat ini sangat benar, namun kandungan ajaran
dan pesan moral serta keteladanan dalam ayat tersebut berlaku dan bisa
diterapkan untuk orang lainnya. Sebagaimana surat Humazah yang turun untuk
menjelaskan sifat dan perilaku khusus dari salah seorang musuh nabi, meski
demikian pesan ajarannya juga universal. Bahkan surat Al-lahab yang jelas
menyebut Abu Lahab, konsekwensi hukumnya tetap berlaku untuk setiap orang yang
memerangi Islam, bahwa mereka akan mengalami kecelakaan seperti Abu Lahab.
Tentang
keumuman lafadz mengenai hukuman bagi pencuri yang terdapat pada surah surat al-Ma’idah ayat 38,
berbunyi :
ä-Í‘$¡¡9$#urèps%Í‘$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ‰÷ƒr&...
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya ...”.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi bahwa ayat itu
diturunkan pada kasus seorang wanita yang melakukan pencurian pada zaman
Rasulullah SAW, tetapi hukum ayat ini, yaitu potong tangan bagi pencuri berlaku
untuk seluruh pencurian.
Sebagian kecil mufassir dan ahli ushul fiqh,
khususnya mufassir kontemporer berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami
sesuai dengan sebab khususnya bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam
kaitan dengan ini, Ridwan Al-Sayyid, tokoh pembaru Mesir, dan M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur: (a) peristiwa
yang terjadi, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tetapi, selama ini yang sering menjadi
pertimbangan dalam kaidah hanya peristiwanya saja tanpa meneliti lebih jauh
waktu terjadinya peristiwa tersebut dan kondisi pelaku peristiwa tersebut.
Akibatnya, hukum umum yang diambil sering tidak sejalan dengan waktu dan para
pelaku peristiwa tersebut. Bagi orang yang melakukan kejahatan pencurian,
misalnya, hukum yang diterapkan tidak hanya diterapkan sesuai dengan peristiwa
pencurian itu saja, tetapi juga dipelajari secara cermat waktu terjadinya
pencurian, dan kondisi pelaku pencurian tersebut. Dengan demikian, ulama yang
berpegang pada kaidah al-ibrah bi khususi as-sabab la biumumi al-lafdz
berpendapat bahwa dalam menerapkan hukum suatu ayat pada kasus lain dilakukan
melalui qiyas (analogi).
Untuk
melakukan analogi ini, M. Quraish Shihab mengemukakan sangat penting
dipertimbangkan faktor waktu dan pelaku, di samping peristiwa itu sendiri.
Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa
budaya dan bahwa kenyataan itu mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat.
Oleh sebab itu, dalam memahami suatu ayat, amat penting diteliti waktu
terjadinya peristiwa tersebut sehingga analogi yang diterapkan akan relevan
dengan tujuan ayat. Namun demikian, menurutnya perbedaan pandangan tersebut
hanya muncul di kalangan mufassir dalam ayat-ayat yang bersifat umum yang tidak
terdapat petunjuk di dalamnya bahwa ayat itu diberlakukan secara khusus.
Apabila ada petunjuk yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku secara khusus, maka
seluruh mufassir dan ahli usul fiqh sepakat memberlakukan ayat itu pada sebab
yang khusus tersebut.[23]
K.
MANFAAT
MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Banyak manfaat mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya akan memantapkan memberi makna dan
menghilangkan kesulitan atau keraguan menfsirkannya. Ibnu Taimiyah berkata “mengetahui
sebab turunnya ayat Al-Quran menolong seseorang memahami makna ayat, karena
mengetahui sebab turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui akibatnya.
Ada beberapa manfaat mengetahui asbab
nuzul, secara rinci Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam manfaat atau
faidah, sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang asbab nuzul
membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus
mensyariatkan agama-Nya melalui Al-Quran. Pengetahuan yang demikian akan
memberi manfaat baik bagi orang mukmin atau non mukmin. Orang mukmin akan
bertambah keimanannya dan mempunyai hasrat yang keras untuk menerapkan hukum
Allah dan mengamalkan kitabnya.
Sebagai contoh adalah syariat tentang
pengharaman minuman keras. Menurut Muhammad Ali Al-Shabuni pengharaman minuman
keras berlangsng melalui empat tahap ,tahap pertama Allah mengharamkan minuan
keras secara tidak langsung,tahap kedua memalingkan secara langsung dari
padanya,mengharamkan secara parsial, keempat pengharaman secara total.
3.
Pengetahuan tentang asbab nuzul
membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitan. Hal ini senada dengan
pernyataan Ibnu Daqiq Al Id ia berkata “ Ketrerangan tentang sebab turunnya
ayat merupakan jalan kuat untuk memahami makna-makna Al-Quran”. Diantara
contohnya ialah ayat ke 158 dari Suah Al-Baqarah kalau tidak dibantu dengan
pelacakan asbab nuzulnya, pemahaman dan penafsiaran ayat tersebut bisa keliru.
Ayat tersebut berbunyi:
¨bÎ)
$xÿ¢Á9$# nouröyJø9$#ur
`ÏB Ìͬ!$yèx©
«!$#
( ô`yJsù ¢kym |MøŠt7ø9$# Írr& tyJtFôã$#
Ÿxsù yy$oYã_ Ïmø‹n=tã br& š’§q©Ütƒ
$yJÎgÎ 4 `tBur tí§qsÜs? #ZŽöyz ¨bÎ*sù
©!$#
íÏ.$x© íOŠÎ=tã
Artinya : Sesungguhnya
Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah Maka Barangsiapa yang
beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan lagi Maha mengetahui.( Al-Baqarah : 158)
Dengan kata Fala Junaha, dapat
diartikan bahwa rukun sai ibadah ( boleh) dan tidak mengikat. Oleh sebab itu
Urwah salah seorang sahabat Nabi pernah berpendapat bahwa sai itu ibadah, dan
tidak mengikat. Akan tetapi, kemudian dikritik oleh Aisyah, karena menurutnya,
ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan pertanyaan orang-orang Ansar pada
Rasulullah, tentang sai antara safa dan marwa,karena mereka sebelumnya tidak
punya tradisi sai saat melakukan ritus ,pada zaman islamnya. Sehubungan dengan
pernyataan mereka inilah ayat tersebut diturunkan, dan Rasulullah mewajibkan
melakukan sai antara kedua bukit tersebut.
3. Pengetahuan asbab nuzul dapat
menolak dugaan adanya hasr atau (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya
mengandung hasr atau pembatasan,
Seperti firman Allah:
@è%
Hw ߉É`r& ’Îû
!$tB
zÓÇrré& ¥’n<Î)
$·B§ptèC 4’n?tã
5OÏã$sÛ
ÿ¼çmßJyèôÜtƒ
HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ”\Åz ¼çm¯RÎ*sù
ê[ô_Í‘
÷rr&
$¸)ó¡Ïù
¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena
Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. (Q-S
Al-an’am :145).[24]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hasr
(pembatasan) dalam ayat ini tidak termasuk dalam maksud itu sendiri. Untuk
menolak adanya hasr (pembatasan) dalam ayat ini, ia mengemukakan alasan bahwa
sehubungan dengan sikap orang-orang kafir yang suka mengharamkan kecuali apa
yang di halalkan oleh Allah dan meng halalkan Apa yang di haramkan oleh-Nya.
Hal ini karena penentangan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
4. Pengetahuan tentang asbab nuzul dapat meng
hususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama’ yang memandang bahwa yang
mesti diperhatikan adalah kehususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Dengan mempelajari asbab nuzul diketahui pula bahwa
sebab turun ayat ini tidak pernah dari hukum yang terkandung dalam ayat
tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkan).
6. Dengan asbab nuzul, di ketahui orang yang ayat
tertentu turun padanya secara tepat sehinga tidak terjadi kesamaran bisa
membawa penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan orang yang
salah.
7. Pengetahuan tentang asbab nuzul akan mempermudah
orang yang meng hafal Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan
orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunya.
Dan asbab nuzul suatu ayat mempunyai banyak
manfaat untuk kehidupan ummat manusia dini, salah satunya adalah sebagai
landasan-landasan suatu penetapan hukum dan masih banyak lainya.[25]
[5] Rosihan Anwar, Ulum Quran, ( Bandung, Pustaka Setia, 2010),
H.61
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Quran 1 ( Bandung,
Pustaka Setia, 2006), H.89
[9] Rachmat Syafi’i , Pengantar Ilmu Tafsir ( Bandung, Pustaka
Setia, 2006), H. 24
[11] Ibn
Qayyim Al-Jauziah, Belajar Mudah Ulum Al-Qur'an. (Jakarta: Lentera,
2002), h. 130.
[12] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.,
(Bandung: Mizan, 1994), h. 89.
[13]
Rahmat Syafe’i, op.cit., h. 31
[14]
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit., h.99
[15]
Rosihan Anwar,op.cit.,h.62
[16]
Rosihan anwar, opcit., h. 65
[17]
Rosihon, Mutiara Ilmu- ilmu Alqur’an ( Bandung, Pustaka Setia,1999) h.
30
[18]
Muhammad Afif, Ulumul Qur’an ( Bandung, Pustaka Islamika, 2002) h. 143
[19]
Rosihan, op.cit., h. 31
[20] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit.,
h.112
[21] Teungku Muhammad Hasbi Ash sdidieqy,
Membahas Ilmu-Ilmu Pokok Dalam Menafsirkan Al-quran ( Semarang, Pustaka
Rezki Putra,2009) h.14
[22]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Qur’an. (Dar Al-Fikr, Beirut,
t.t., jilid I), h. 110
[25]Thamrin,
Husni, Muhimmah ulumul qur’an, (semarang: Bumi Aksara 1982) h. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar