Sabtu, 13 Juni 2015

Makalah Filsafat Ilmu: Emprisme John Locke

BAB I
PENDAHULUAN
            Tradisi empiris di lanjutkan oleh john locke, yang untuk pertama kali menerapkan metode metode empiris kepada persoalan persoalan tentang pengenalan dan pengetahuan, baginya yang penting bukan memberi pandangan metafisis tentang tabiat dan roh dan benda, melainkan menguraikan manusia mengenal. Oleh kerena itu adalah pemberi atas ajaran emperis tentang idea- idea dan kritik pengenalan.[1]
Sumber pengetahuan dalam diri manusia banyak sekali. Salah satu paham memaparkan tentang sumber pengetahuan adalah paham empirisme. Empirisme  merupakan paham yang memaparkan dan menjelaskan bahwa sumber pengatahuan itu adalah pengalaman. Paham ini di kemukkakan oleh beberapa pakar diantaranya adalah john locke.
Salah satu pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Ia berupaya menjelaskan bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuannya, Menurut john Locke seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau masih kosong. Situasi tersebut diibaratkan Locke seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.
Pada sisi lain ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian ia beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar hanya di peroleh oleh indra (Emperi) dan emperilah satu satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama emperisme.[2]

BAB II
BIOGRAFI

A.    Riwayat Hidup John Locke
Ia di lahirkan di Wrington, Somerset dekat Bristol, Inggris pada tanggal 28 Agustus 1632- meninggal 28 Oktober 1704 di Essex, inggris, pada umur 72 tahun. Ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1556 dan gelar sarjana penuh pada tahun 1658. Jika ada pertanyaan siapa filsuf pertama yang menghimpun secara terpadu gagasan dasar konstitusi demokratis, maka jawabannya adalah John Locke memancarkan pengaruh kuat terhadap para dedongkot pendiri Amerika Serikat. Bukan hanya itu, pengaruhnya juga termasuk kuat kedalam kalbu gerakan pembaharuan perancis.
Buku pertama yang membuat  John Locke terkenal adalah An Essay Corcerning Human Understanding ( Essay Tentang Pengertian Manusia) yang terbit pada tahun 1990. Di dalamnya, di persoalkan tentang asal usul, hakikat, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Ide ide John Locke pada gilirannya mempengaruhi filsuf filsuf tersohor, seperti Pendeta George Berkeley, David Hume, dan Immanuel Kant, kendati esai tersebut adalah hasil karyanya yang paling orisinal dan merupakan salah satu dari filusuf terkenal, pengaruhnya tidaklah sebesar tulisan- tulisannya tentang masalah politik.
Dalam bukunya A Letter Concerning Toleran ( Masalah yang Berkaitan dengan Toleransi) yang terbit pada tahun 1689, Locke menekankan bahwa Negara jangan ikut campur terlampau banyak hal kebebasan menjalankan ibadah menurut kepercayaan dan agama masing masing. Locke bukanlah orang inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama  dari semua sekte Prostestan. Tetapi, Argumen  kuat yang ia lontarkan,  yang berpihak kepada perlunya toleransii merupakan factor dukungan penduduk terhadapnya.
Lebih dari itu, Locke mengembangkan prinsip toleransinya kepada golongan non- Kristen, “… baik penganut kepercayaan primitif, Islam maupun Yahudi tidak boleh di kurangi hak hak sipilnya dalam Negara semata mata atas pertimbangan agama. “ tetapi, Locke percaya bahwa mereka tergantung pada bantuan kekuatan luar, serta tak ada toleransi bagi kaum ateis.
Dengan ukuran zaman saat ini, Locke boleh di bilang teramat berlapang dada, tetapi sangatlah beralasan untuk memandangnya dari hubungan dengan cara ide ide pada zamannya. Fakta mencatat, alasan alasan yang di kemukakannya demi terciptanya toleransi beragama lebih meyakinkan pembacanya daripada pengecualian yang dibuatnya. Kini, berkat adanya tulisan tulisan locke, toleransi beragama sudah meluas, bahkan sampai pada golongan- golongan yang tadinya dikucilkan.
Peran penting locke lainnya adalah terbitnya buku Two Treatises of Government ( Dua Persepektif dengan Pemerintahan) pada tahun 1689 yang berisi penyuguhan ide dasar yang menekankan arti penting konstitusi demokrasi liberal. Buku tersebut berpengaruh terhadap pikiran pikiran politik seluruh dunia yang berbahasa inggris. Locke yakin dengan seyakin yakinnya bahwa setiap manusia memiliki hak alamiyah, dan ini bukan sekedar menyangkut hal hidup, tetapi juga kebebasan pribadi serta hak atas pemilik sesuatu. Tugas utama pemerintahan adalah melindungi penduduk dan hak milik warga Negara. Pandangan ini sering kali disebut “ teori jaga malam oleh pemerintahan”.
Dengan menolak anggapanhak suci raja, Locke menekankan bahwa pemerintahan baru dapat menjalankan kekuasaannya atas persetujuan yang di perintah. “ Kemerdekaan pribadi dalam masyarakat berada di bawah kekuasaan legeslatif yang di sepakati dalam suatu Negara.” Dengan tegas, Locke menekankan sesuatu yang disebutnya “kontak social.” Pikiran ini sebagian berasal dari tulisan tulisan filosuf Inggris terdahulu, Thomas Hobbes. Locke berpegang teguh pada perlunya pemisahan kekuasaan. Ia menganggap kekuasaan legeslatif dan yudikatif – yang di anggapnya merupakan cabang  dari kekuasaan ekskutif. Selaku orang yang percaya terhadap keunggulan kekuasaan legeslatif, Locke hampir selalu menantang hak pengadilan yang memutuskan bahwa tindakan legeslatif itu tidak konstitusional.[3]
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Empirisme
Aliran emprisme memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Istilah empiris ini berasal dari kata Yunani, emperia, yang berarti pengalaman indrawi. Empirisme ini sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme, terutama dilihat dari sumber pengetahuannya.[4]
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosuf yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dahulu dua ciri pokok Emprisme yaitu mengenai makna dan teori tentang pengetahuan .
Filsafat emprisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (Logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittegenstain. Akan tetapi teori makna dan emperisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh kerena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (patters) jumlah yang dapat diindra, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar- dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran- kebenaran itu benar dengan sendirinya yang di kenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional. Semua kebenaran yang di sebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori.[5]
Seorang penganut empirisme biasanya berpendirian bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti ini “ Bagaimanakah orang mengetahui es membeku?” jawabannya tentu “ kerna saya melihatnya demikian itu”.
Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera, kata seseorang penganut imperisisme. John locke bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan di buku catatan itulah di catat pengalaman-pengalaman indrawi. Menurut locke, seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide – ide yang di peroleh dari pengindraan dan refleksi yang pertama- tama dan sedarhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara fasif menerima hasil hasil pengindraan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman pengalaman indrawi yang pertama- tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom- atom yang menyusun objek objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian, itu bukanlah pengetahuan, atau setidak tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal hal yang faktual.
EMPIRISME RADIKAL. Mereka yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak secara demikian itu dianggap bukan pengetahuan, dinamakan penganut impiresme radikal,( penganut sensasionalisme). Tetapi tidak semua penganut emperisme merupakan penganut sensasionalisme. Di antara mereka ada yang mengatakan kita dapat mengetahui suatu corak pengetahuan yang tidak dapat di kembalikan kepada pengindraan, sekalipun di katakan pula bahwa hal itu bukanlah menyangkut pengetahuan mengenai eksestensi.
Contohnya, adalah mungkin bagi kita untuk mengetahui tanpa pengalaman sama sekali bahwa suatu kertas misalnya berwarna putih atau tidak berwarna putih, kerena kita dapat mengatakan  bahwa segala hal merupakan  A atau bukan A, dengan cara yang sama juga suatu segitiga merupakan bidang datar yang bersisi tiga, kerena dengan cara demikianlah mendefinisikan segitiga. Sementara penganut emperisme radikal mengatakan bahwa kedua contoh tersebut bukan lah pengetahuan, tetapi hanya menerangkan bagaimana kita menggunakan kata-kata.
PENGALAMAN’ MERUPAKAN ISTILAH YANG BERMAKNA GANDA.  Tetapi apakah yang terjadi bila kita mempunyai suatu pengalaman? Perkataan itu menjadi bermakna ganda jika kita kemudian menanyakannya. Kadang kadang  ini berarti bahwa indra kita memperoleh rangsangan, dan kita mengatakan mempunyai suatu pengalaman kerena kita telah melihat atau mendengar atau mencicipi, dan sebagainya. Pada waktu yang lain, tampaknya pengalaman bermakna sebagai hasil pengindraan di tambah ‘pengalaman’ yang tidak perlu di perbincangkan. Misalnya, bila kita merasa ketakutan dan mengatakan “saya benar-benar telah mengalaminya.”
Ditinjau dari sudut epistemologi- khususnya dari pandangan empiris – pengalaman kadang – kadang menunjukkan pada hasil pengindraan, sebab itulah dinamakan sebagai ‘datum indera’. Kedudukan yang bersifat ontologis dari data indera kita ini tidaklah dipersoalkan sekerang. Dan hendaknya di ketahui, dalam batas batas tertentu, apa yang telah dikatakan tadi tidaklah dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia tersusun dari data indra tersebut atau bahwa data indera pada hakikatnya bersifat kerohanian (idealisme) atau bahwa data indera itu bersifat kerohanian tetapi menunjukkan pada alam semestayang bersifat tidak kerohanian (realisme), atau suatu pendirian yang lain.[6]

B.     Emperisme John locke
Ia adalah filosof inggris yang banyak mempelajari agama kristen. Filsafat locke dapat dikatakan sebagai antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkannya oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau induksi.[7] Bahkan locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan cara metoda induksi.[8]
Locke  termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tak mengagumi ajarannya. Bagi Locke, mula mula rasio manusia harus di anggap sebagai “ lembaran kertas putih” ( as a white paper ) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke pengalaman ada dua:  pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah ( reflection ) [9]. Sensation merupakan suatu  yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensational manusia tak dapat juga  suatu pengetahuan, sedangkan reflection merupakan pengenalan intuitif  serta memberi pengetahuan kepada manusia lebih baik, dan lebih penuh dari pada sensational. Tiap tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara sensational dan reflection. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensational, sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan  merupakan yang putih bersih: tabularasa[10]. Tabularasa yaitu jiwa itu kosong sebagai kertas putih yang belum tertulisi. Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang di bawa sejak lahir, melainkan pengalaman lah yang membentuk seseorang.[11] Demikian hal ini bertentangan dengan Descartes.[12]
Terkait dengan pengalaman menurut john locke  pengalaman lahiriah (sensational) itu seperti yang disebutkan di atas contohnya yaitu: penglihatan, pendengaran, sentuhan/ rabaan, penciuman, atau rasa yang masuk kedalam otak melalui rangsangan pengamatan, akal budi kita menurut john locke bersifat pasif, dan hanya menerima rangsangan dunia luar apa adanya, sedangkan reflection contohnya yaitu: pengalaman batin memberi informasi tentang dunia dalam (jiwa). Informasi yang di hasilkan adalah aktivitas pemikiran (Refleksi) atas ide- ide kompleks.
Isi otak kita menurut john locke, terdiri dari ide- ide. Ide ide itu terdiri dari ‘simple ideas’ dan ‘ complex ideas. Gagasan sederhana (simple ideas) merupakan hubungan- hubungan  dari ide- ide tunggal/ gagasan- gagasan simple itu. Gagasan kompleks itu, misalnya ‘sebab’, ‘relasi’ dan ‘syarat’ tidak diamati secara langsung, akan tetapi kita rumuskan dengan mengkombinasikan ide- ide tunggal.
Lalu apa yang menghubungkan antara ide dan objeknya? Hubungan antara objek dan ide dikerenakan objek objek memiliki kualitas- kualitas ( primer dan sekunder) yang menghasilkan idea idea dalam otak (pikiran) kita. Terkait dengan kualitas primer dan kualitas sekunder, kualitas primer ( benar benar ada dalam objeknya sendiri) sedangkan kualitas sekunder ( berada dalam otak (pikiran) kita). Misalnya kualitas primer berhubungan dengan keterukuran objek ( misalnya apel: beratnya, kerasnya, volumenya) sedangkan warna adalah kualitas sekunder.
Bila kita perhatikan pernyataan Locke bahwa “ semua idea datang dari sensasi dan refleksi” maka dapat di tafsirkan bahwa suatu ‘ide’ hanya merupakan suatu “gambaran mental” atau suatu pengertian yang ditarik dari pengalaman.
Locke percaya akan adanya tiga macam pengetahuan, Yaitu:
1.      Pengetahuan intuitif, yang melaluinya kita peroleh pengetahuan tentang diri kita sendiri.
2.      Pengetahuan demonstatif, yang melaluinya diperoleh pengetahuan tentang Allah.
3.      Pengetahuan indrawi, yang melaluinys diperoleh pengetahuan tentang dunia luar.
Locke berpendapat bahwa hanya pengetahuan intuitiflah yang bersifat pasti secara absolute. Yang kedua pasti seperti bukti- bukti matematik, yang juga pasti. Sedangkan pengetahuan indrawi bersifat problematic, paling malsimal pengetahuan ini merupakan dukaan yang baik( bandingkan dengan probalilistik popper). Akan tetapi, pengetahuan indrawi menandai untuk keperluan hidup sehari hari. Locke menyatakan bahwa filsafatnya adalah jalan menuju Allah.[13]
Pandangan Locke mengenai lembaran putih mirip sekali dengan teori fitrah dalam filsafat islam yang di dasarkan atas pernyataan Al-Quran, Surah ke- 30 Ar- Rum ayat ke-30. Fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir yang didalamnya terkandung tiga potensi dengan fungsinya masing- masing. Pertama , fungsi ‘aql  yang berfungsi untuk mengenai Tuhan, dan mencintai-Nya. Kedua, potensi Syahwat yang berfungsi untuk menginduksi objek objek yang menyenangkan. Ketiga, potensi  qadhab  yang berfungsi menghindari marabahaya. Ketika manusia dilahirkan, ketiga potensi ini telah dimilikinya. Namun demikian, agar potensi- potensi tersebut beraktualisasi perlu ada bantuan dari luar dirinya. Dalam filsafat islam, kedua orang tua anak yang terlahir itulah pertama tama berkewajiban memberikan pengetahuan untuk mengoptimalisasikan potensi potensi tersebut dengan kata lain. Orang tualah yang menggoreskan  tulisan di atas lembaran putih si anak yang terlahir itu.[14]
Ada dua hal dalam filsafat pengetahuan John Locke  yang di anggap mempunyai implikasi bagi perkembangan kebudayaan modern. (1). Anggapan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari pengalama, dan (2). Bahwa yang kita ketetahui itu sendiri, melainkan hanya kesan kesannya pada pancaindra kita.
(1)   Locke menolak bahwa manusia mempunyai pengetahuan apriori (anggapan Descartes). Apa saja yang di ketahui dari pengalaman, dan pengalaman itu bias bersifat lahiriah dan batiniah.
(2)   Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala, melainkan kita melihat kesan indrawi pada retina yang di sebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon. Dan kita mendengar reaksi selaput kuping terhadap getaran- getaran udara yang disebabkan oleh peniup sangkakala.[15]



PENUTUP

Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosuf yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dahulu dua ciri pokok Emprisme yaitu mengenai makna dan teori tentang pengetahuan .
Filsafat emprisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (Logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittegenstain. Akan tetapi teori makna dan emperisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman.
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar- dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran- kebenaran itu benar dengan sendirinya yang di kenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional.
Locke  termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tak mengagumi ajarannya. Bagi Locke, mula mula rasio manusia harus di anggap sebagai “ lembaran kertas putih” ( as a white paper ) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke pengalaman ada dua:  pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah ( reflection ) Sensation merupakan suatu  yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensational manusia tak dapat juga  suatu pengetahuan, sedangkan reflection merupakan pengenalan intuitif  serta memberi pengetahuan kepada manusia lebih baik, dan lebih penuh dari pada sensational. Tiap tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara sensational dan reflection. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensational, sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan  merupakan yang putih bersih: tabularasa Tabularasa yaitu jiwa itu kosong sebagai kertas putih yang belum tertulisi.


[1] Kanisius, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 ( Yogyakarta: Kanisius, 1980)  h. 36

[2] Asmoro Akhmadi,  filsafat umum ( Jakart: RajaGrafindo Persada, 1997) h. 112
[3] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf Dari Plato Sampai Ibnu Bajjah ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2014) h. 91
[4] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epestemologis, dan Aksiologis ( Jakarta: Bumi Aksara 2011) h.37

[5] Ahmad Syadali, filsafat umum, ( Bandung, Pustaka Setia 1997)  h. 117
[6] Louis A. Kattsoff, pengantar Filsafat,terj. Soejono soemargono(Yogyakarta: Tiara Wacana,2004) h. 132

[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, ( Bandung, Remaja Rosdakarya,2000) h. 175

[8] A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2010 ) h. 165

[9] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum Dan Mitodologi sampai Teoelogi (Bandung: Pustaka Setia,2008) h. 271

[10] I.R. Poedjawijatna Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat ( Jakarta, Reneka Cipta, 1994 ) h. 105

[11] Ahmadi, Asmoro, Filsafat Umum, h. 118

[12] I.R. Poedjawijatna Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, h. 105
[13] .Akhyar Yusuf Lubis Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontiforer, (Jakarta: RajaGrafindo,2014) h.120

[14] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dan Mitologi sampai Teofilogi, h. 272

[15] Kanisius, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis ( Yogyakarta: Kanisius, 1992) h. 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar