BAB I
PENDAHULUAN
Tradisi empiris di
lanjutkan oleh john locke, yang untuk pertama kali menerapkan metode metode
empiris kepada persoalan persoalan tentang pengenalan dan pengetahuan, baginya
yang penting bukan memberi pandangan metafisis tentang tabiat dan roh dan
benda, melainkan menguraikan manusia mengenal. Oleh kerena itu adalah pemberi
atas ajaran emperis tentang idea- idea dan kritik pengenalan.[1]
Sumber
pengetahuan dalam diri manusia banyak sekali. Salah satu paham memaparkan
tentang sumber pengetahuan adalah paham empirisme. Empirisme merupakan paham yang memaparkan dan
menjelaskan bahwa sumber pengatahuan itu adalah pengalaman. Paham ini di
kemukkakan oleh beberapa pakar diantaranya adalah john locke.
Salah satu
pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah
mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Ia berupaya menjelaskan
bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuannya, Menurut john Locke seluruh
pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Dengan demikian, Locke
berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio
manusia itu belum berfungsi atau masih kosong. Situasi tersebut diibaratkan
Locke seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang
dijalani oleh manusia itu. Rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah
pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama
pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.
Pada sisi lain ilmu pengetahuan besar sekali
manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian ia beranggapan bahwa pengetahuan yang
bermanfaat, pasti dan benar hanya di peroleh oleh indra (Emperi) dan emperilah
satu satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama
emperisme.[2]
BAB II
BIOGRAFI
A.
Riwayat Hidup
John Locke
Ia di lahirkan di Wrington, Somerset
dekat Bristol, Inggris pada tanggal 28 Agustus 1632- meninggal 28 Oktober 1704 di Essex, inggris, pada umur 72 tahun. Ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas
Oxford dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1556 dan gelar sarjana
penuh pada tahun 1658. Jika ada pertanyaan siapa filsuf pertama yang menghimpun
secara terpadu gagasan dasar konstitusi demokratis, maka jawabannya adalah John
Locke memancarkan pengaruh kuat terhadap para dedongkot pendiri Amerika
Serikat. Bukan hanya itu, pengaruhnya juga termasuk kuat kedalam kalbu gerakan
pembaharuan perancis.
Buku
pertama yang membuat John Locke terkenal
adalah An Essay Corcerning Human Understanding ( Essay Tentang Pengertian
Manusia) yang terbit pada tahun 1990. Di dalamnya, di persoalkan tentang asal
usul, hakikat, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Ide ide John Locke pada
gilirannya mempengaruhi filsuf filsuf tersohor, seperti Pendeta George
Berkeley, David Hume, dan Immanuel Kant, kendati esai tersebut adalah hasil
karyanya yang paling orisinal dan merupakan salah satu dari filusuf terkenal,
pengaruhnya tidaklah sebesar tulisan- tulisannya tentang masalah politik.
Dalam bukunya A Letter Concerning
Toleran ( Masalah yang Berkaitan dengan Toleransi) yang terbit pada tahun 1689,
Locke menekankan bahwa Negara jangan ikut campur terlampau banyak hal kebebasan
menjalankan ibadah menurut kepercayaan dan agama masing masing. Locke bukanlah
orang inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte Prostestan. Tetapi, Argumen kuat yang ia lontarkan, yang berpihak kepada perlunya toleransii
merupakan factor dukungan penduduk terhadapnya.
Lebih dari itu, Locke mengembangkan
prinsip toleransinya kepada golongan non- Kristen, “… baik penganut kepercayaan
primitif, Islam maupun Yahudi tidak boleh di kurangi hak hak sipilnya dalam
Negara semata mata atas pertimbangan agama. “ tetapi, Locke percaya bahwa mereka
tergantung pada bantuan kekuatan luar, serta tak ada toleransi bagi kaum ateis.
Dengan ukuran zaman saat ini, Locke
boleh di bilang teramat berlapang dada, tetapi sangatlah beralasan untuk
memandangnya dari hubungan dengan cara ide ide pada zamannya. Fakta mencatat,
alasan alasan yang di kemukakannya demi terciptanya toleransi beragama lebih
meyakinkan pembacanya daripada pengecualian yang dibuatnya. Kini, berkat adanya
tulisan tulisan locke, toleransi beragama sudah meluas, bahkan sampai pada
golongan- golongan yang tadinya dikucilkan.
Peran penting locke lainnya adalah
terbitnya buku Two Treatises of Government ( Dua Persepektif dengan Pemerintahan)
pada tahun 1689 yang berisi penyuguhan ide dasar yang menekankan arti penting
konstitusi demokrasi liberal. Buku tersebut berpengaruh terhadap pikiran
pikiran politik seluruh dunia yang berbahasa inggris. Locke yakin dengan
seyakin yakinnya bahwa setiap manusia memiliki hak alamiyah, dan ini bukan
sekedar menyangkut hal hidup, tetapi juga kebebasan pribadi serta hak atas
pemilik sesuatu. Tugas utama pemerintahan adalah melindungi penduduk dan hak
milik warga Negara. Pandangan ini sering kali disebut “ teori jaga malam oleh
pemerintahan”.
Dengan menolak anggapanhak suci raja,
Locke menekankan bahwa pemerintahan baru dapat menjalankan kekuasaannya atas
persetujuan yang di perintah. “ Kemerdekaan pribadi dalam masyarakat berada di
bawah kekuasaan legeslatif yang di sepakati dalam suatu Negara.” Dengan tegas,
Locke menekankan sesuatu yang disebutnya “kontak social.” Pikiran ini sebagian
berasal dari tulisan tulisan filosuf Inggris terdahulu, Thomas Hobbes. Locke
berpegang teguh pada perlunya pemisahan kekuasaan. Ia menganggap kekuasaan
legeslatif dan yudikatif – yang di anggapnya merupakan cabang dari kekuasaan ekskutif. Selaku orang yang
percaya terhadap keunggulan kekuasaan legeslatif, Locke hampir selalu menantang
hak pengadilan yang memutuskan bahwa tindakan legeslatif itu tidak
konstitusional.[3]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Empirisme
Aliran
emprisme memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Istilah
empiris ini berasal dari kata Yunani, emperia, yang berarti pengalaman
indrawi. Empirisme ini sangat bertentangan dengan aliran rasionalisme, terutama
dilihat dari sumber pengetahuannya.[4]
Empirisme
adalah salah satu aliran dalam filosuf yang menekankan
peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri,
dan mengecilkan peranan akal.
Untuk
memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dahulu dua ciri pokok Emprisme
yaitu mengenai makna dan teori tentang pengetahuan .
Filsafat
emprisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme
logis (Logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittegenstain. Akan
tetapi teori makna dan emperisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh kerena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (patters) jumlah
yang dapat diindra, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori
yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut.
Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian
tentu mempunyai sebab, dasar- dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar
etika, dan kebenaran- kebenaran itu benar dengan sendirinya yang di kenal
dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme
menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional. Semua kebenaran
yang di sebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia
kebenaran a posteriori.[5]
Seorang
penganut empirisme biasanya berpendirian bahwa kita dapat memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat
dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti ini “ Bagaimanakah orang
mengetahui es membeku?” jawabannya tentu “ kerna saya melihatnya demikian itu”.
Pengetahuan
diperoleh dengan perantaraan indera, kata seseorang penganut imperisisme. John
locke bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di
lahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan
di buku catatan itulah di catat pengalaman-pengalaman indrawi. Menurut locke,
seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan
ide – ide yang di peroleh dari pengindraan dan refleksi yang pertama- tama dan
sedarhana tersebut.
Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara fasif menerima
hasil hasil pengindraan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman pengalaman indrawi yang
pertama- tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom- atom yang menyusun objek
objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara
demikian, itu bukanlah pengetahuan, atau setidak tidaknya bukanlah pengetahuan
mengenai hal hal yang faktual.
EMPIRISME RADIKAL. Mereka yang
berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak secara demikian itu dianggap
bukan pengetahuan, dinamakan penganut impiresme radikal,( penganut
sensasionalisme). Tetapi tidak semua penganut emperisme merupakan penganut
sensasionalisme. Di antara mereka ada yang mengatakan kita dapat mengetahui
suatu corak pengetahuan yang tidak dapat di kembalikan kepada pengindraan,
sekalipun di katakan pula bahwa hal itu bukanlah menyangkut pengetahuan
mengenai eksestensi.
Contohnya, adalah mungkin
bagi kita untuk mengetahui tanpa pengalaman sama sekali bahwa suatu kertas
misalnya berwarna putih atau tidak berwarna putih, kerena kita dapat mengatakan
bahwa segala hal merupakan A atau bukan A, dengan cara yang sama juga
suatu segitiga merupakan bidang datar yang bersisi tiga, kerena dengan cara
demikianlah mendefinisikan segitiga. Sementara penganut emperisme radikal
mengatakan bahwa kedua contoh tersebut bukan lah pengetahuan, tetapi hanya
menerangkan bagaimana kita menggunakan kata-kata.
‘PENGALAMAN’ MERUPAKAN ISTILAH YANG
BERMAKNA GANDA. Tetapi apakah yang terjadi bila
kita mempunyai suatu pengalaman? Perkataan itu menjadi bermakna ganda jika kita
kemudian menanyakannya. Kadang kadang
ini berarti bahwa indra kita memperoleh rangsangan, dan kita mengatakan
mempunyai suatu pengalaman kerena kita telah melihat atau mendengar atau
mencicipi, dan sebagainya. Pada waktu yang lain, tampaknya pengalaman bermakna
sebagai hasil pengindraan di tambah ‘pengalaman’ yang tidak perlu di
perbincangkan. Misalnya, bila kita merasa ketakutan dan mengatakan “saya
benar-benar telah mengalaminya.”
Ditinjau dari sudut
epistemologi- khususnya dari pandangan empiris – pengalaman kadang – kadang
menunjukkan pada hasil pengindraan, sebab itulah dinamakan sebagai ‘datum
indera’. Kedudukan yang bersifat ontologis dari data indera kita ini tidaklah
dipersoalkan sekerang. Dan hendaknya di ketahui, dalam batas batas tertentu,
apa yang telah dikatakan tadi tidaklah dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia
tersusun dari data indra tersebut atau bahwa data indera pada hakikatnya
bersifat kerohanian (idealisme) atau bahwa data indera itu bersifat kerohanian
tetapi menunjukkan pada alam semestayang bersifat tidak kerohanian (realisme),
atau suatu pendirian yang lain.[6]
B. Emperisme John locke
Ia adalah filosof inggris yang banyak mempelajari
agama kristen. Filsafat locke dapat dikatakan sebagai antimetafisika. Ia
menerima keraguan sementara yang diajarkannya oleh Descartes. Ia juga menolak
metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan
pengalaman atau induksi.[7]
Bahkan locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran
matematis yang pasti dan cara penarikan dengan cara
metoda
induksi.[8]
Locke
termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tak mengagumi
ajarannya. Bagi Locke, mula mula rasio manusia harus di anggap sebagai “
lembaran kertas putih” ( as a white paper ) dan seluruh isinya berasal
dari pengalaman. Bagi Locke pengalaman ada dua:
pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (
reflection ) [9]. Sensation merupakan suatu
yang mempunyai hubungan dengan dunia
luar, tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi
tanpa sensational manusia tak dapat juga
suatu pengetahuan, sedangkan reflection merupakan pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan kepada manusia
lebih baik, dan lebih penuh dari pada sensational. Tiap tiap pengetahuan itu
terjadi dari kerjasama antara sensational dan reflection. Tetapi haruslah ia
mulai dengan sensational, sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih: tabularasa[10]. Tabularasa yaitu
jiwa itu kosong sebagai kertas putih yang belum tertulisi. Tidak ada sesuatu
dalam jiwa yang di bawa sejak lahir, melainkan pengalaman lah yang membentuk
seseorang.[11] Demikian hal ini
bertentangan dengan Descartes.[12]
Terkait dengan pengalaman menurut
john locke pengalaman lahiriah (sensational)
itu seperti yang disebutkan di atas contohnya yaitu: penglihatan,
pendengaran, sentuhan/ rabaan, penciuman, atau rasa yang masuk kedalam otak
melalui rangsangan pengamatan, akal budi kita menurut john locke bersifat
pasif, dan hanya menerima rangsangan dunia luar apa adanya, sedangkan reflection
contohnya yaitu: pengalaman batin memberi informasi tentang dunia dalam (jiwa).
Informasi yang di hasilkan adalah aktivitas pemikiran (Refleksi) atas ide- ide kompleks.
Isi otak kita menurut john locke,
terdiri dari ide- ide. Ide ide itu terdiri dari ‘simple ideas’ dan ‘ complex
ideas. Gagasan sederhana (simple ideas) merupakan hubungan-
hubungan dari ide- ide tunggal/ gagasan-
gagasan simple itu. Gagasan kompleks itu, misalnya ‘sebab’, ‘relasi’ dan
‘syarat’ tidak diamati secara langsung, akan tetapi kita rumuskan dengan
mengkombinasikan ide- ide tunggal.
Lalu apa yang menghubungkan antara
ide dan objeknya? Hubungan antara objek dan ide dikerenakan objek objek
memiliki kualitas- kualitas ( primer dan sekunder) yang menghasilkan idea idea
dalam otak (pikiran) kita. Terkait dengan kualitas primer dan kualitas
sekunder, kualitas primer ( benar benar ada dalam objeknya sendiri)
sedangkan kualitas sekunder ( berada dalam otak (pikiran) kita). Misalnya
kualitas primer berhubungan dengan keterukuran objek ( misalnya apel: beratnya,
kerasnya, volumenya) sedangkan warna adalah kualitas sekunder.
Bila kita perhatikan pernyataan Locke
bahwa “ semua idea datang dari sensasi dan refleksi” maka dapat di tafsirkan
bahwa suatu ‘ide’ hanya merupakan suatu “gambaran mental” atau suatu pengertian
yang ditarik dari pengalaman.
Locke percaya akan adanya tiga macam
pengetahuan, Yaitu:
1.
Pengetahuan intuitif, yang
melaluinya kita peroleh pengetahuan tentang diri kita sendiri.
2.
Pengetahuan demonstatif, yang
melaluinya diperoleh pengetahuan tentang Allah.
3.
Pengetahuan indrawi, yang
melaluinys diperoleh pengetahuan tentang dunia luar.
Locke berpendapat bahwa hanya pengetahuan intuitiflah yang bersifat
pasti secara absolute. Yang kedua pasti seperti bukti- bukti matematik, yang
juga pasti. Sedangkan pengetahuan indrawi bersifat problematic, paling malsimal
pengetahuan ini merupakan dukaan yang baik( bandingkan dengan probalilistik
popper). Akan tetapi, pengetahuan indrawi menandai untuk keperluan hidup sehari
hari. Locke menyatakan bahwa filsafatnya adalah jalan menuju Allah.[13]
Pandangan Locke mengenai lembaran putih mirip sekali dengan teori
fitrah dalam filsafat islam yang di dasarkan atas pernyataan Al-Quran,
Surah ke- 30 Ar- Rum ayat ke-30. Fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir yang
didalamnya terkandung tiga potensi dengan fungsinya masing- masing. Pertama ,
fungsi ‘aql yang berfungsi untuk
mengenai Tuhan, dan mencintai-Nya. Kedua, potensi Syahwat yang
berfungsi untuk menginduksi objek objek yang menyenangkan. Ketiga,
potensi qadhab yang berfungsi menghindari marabahaya. Ketika
manusia dilahirkan, ketiga potensi ini telah dimilikinya. Namun demikian, agar
potensi- potensi tersebut beraktualisasi perlu ada bantuan dari luar dirinya.
Dalam filsafat islam, kedua orang tua anak yang terlahir itulah pertama tama
berkewajiban memberikan pengetahuan untuk mengoptimalisasikan potensi potensi
tersebut dengan kata lain. Orang tualah yang menggoreskan tulisan di atas lembaran putih si anak yang
terlahir itu.[14]
Ada dua hal dalam filsafat pengetahuan
John Locke yang di anggap mempunyai
implikasi bagi perkembangan kebudayaan modern. (1). Anggapan bahwa seluruh
pengetahuan berasal dari pengalama, dan (2). Bahwa yang kita ketetahui itu
sendiri, melainkan hanya kesan kesannya pada pancaindra kita.
(1)
Locke menolak bahwa manusia
mempunyai pengetahuan apriori (anggapan Descartes). Apa saja yang di ketahui
dari pengalaman, dan pengalaman itu bias bersifat lahiriah dan batiniah.
(2)
Menurut Locke kita tidak
melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala, melainkan kita
melihat kesan indrawi pada retina yang di sebabkan oleh apa yang kita lihat
sebagai pohon. Dan kita mendengar reaksi selaput kuping terhadap getaran-
getaran udara yang disebabkan oleh peniup sangkakala.[15]
PENUTUP
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filosuf yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan
itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu
memahami dahulu dua ciri pokok Emprisme yaitu mengenai makna dan teori
tentang pengetahuan .
Filsafat emprisme tentang teori makna
amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (Logical positivisme)
dan filsafat Ludwig Wittegenstain. Akan tetapi teori makna dan emperisme selalu
harus dipahami lewat penafsiran pengalaman.
Teori
yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut.
Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian
tentu mempunyai sebab, dasar- dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar
etika, dan kebenaran- kebenaran itu benar dengan sendirinya yang di kenal
dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional.
Locke termasuk
orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tak mengagumi
ajarannya. Bagi Locke, mula mula rasio manusia harus di anggap sebagai “
lembaran kertas putih” ( as a white paper ) dan seluruh isinya berasal
dari pengalaman. Bagi Locke pengalaman ada dua:
pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (
reflection ) Sensation merupakan suatu
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi tak dapat meraihnya
dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensational manusia tak dapat
juga suatu pengetahuan, sedangkan
reflection merupakan pengenalan intuitif
serta memberi pengetahuan kepada manusia lebih baik, dan lebih penuh
dari pada sensational. Tiap tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara
sensational dan reflection. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensational, sebab
jiwa manusia itu waktu dilahirkan
merupakan yang putih bersih: tabularasa Tabularasa yaitu jiwa itu
kosong sebagai kertas putih yang belum tertulisi.
[3] Wahyu Murtiningsih, Para
Filsuf Dari Plato Sampai Ibnu Bajjah ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2014) h. 91
[4] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epestemologis, dan Aksiologis ( Jakarta: Bumi Aksara 2011) h.37
[6] Louis A. Kattsoff, pengantar Filsafat,terj. Soejono
soemargono(Yogyakarta: Tiara Wacana,2004) h. 132
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, ( Bandung, Remaja
Rosdakarya,2000) h. 175
[9] Atang Abdul Hakim dan
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum Dan Mitodologi sampai Teoelogi
(Bandung: Pustaka Setia,2008) h. 271
[13] .Akhyar Yusuf Lubis Filsafat
Ilmu: Klasik Hingga Kontiforer, (Jakarta: RajaGrafindo,2014) h.120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar