BAB I
PENDAHULUAN
Setelah khalifah Abbasiyah di Bagdad runtuh akibat
serangan tentara Mongol,[1] kekuatan
politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya
tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan
kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya
dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu.
Namun, kemalangan tidak berhenti sampai disitu. Timur Lenk, pemimpin bangsa
mongol saat itu, juga menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan
kembali setelah dan berkembangnya tiga kerajaan besar : Usmani di Turki, Mughal
di India, dan Safawi di Persia. Dimasa
tiga kerjaan besar ini kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur
dan arsitek. Masjid-masjid yang didirikan kerajaan ini masih dapat diihat di Istambul, Tibriz dan
Isfaham serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat islam di zaman
ini lebih banyak merupakan warisan kemajuan pada masa priode klasik. Perhatian
di ilmu pengetahuan masih kurang. Tentu saja bila dibandingkan kemjuan yang
dicapai pada masa dinasti Abbsyiah, khususnya di bidang ilmu pengetahuan.
Namun, menarik untuk dikaji, karena kemajuan pada masa ini terwujud setelah
dunia islam mengalami kemunduran beberapa abad lamanya.[2]
Ada dua aspek menarik dari pengkajian sejarah kerajaan Safawi pada
1501-1722 M. Pertama lahir kembali dinasti Safawi adalah kebangkitan kembali
kejayaan Islam, sebelumnya pernah mengalami masa kecemerlangan. Kedua, dinasti
Safawi telah memberikan Iran semacam “Negara Nasional” dengan identitas baru
yaitu aliran Syiah yang menurut G.H. Jansen merupakan landasan bagi
perkembangan Nasionalisme Iran modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kerajaan
Safawi Persia
Awalnya kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di
Ardabila, sebuah kota di Azerbaijan, Tarekat ini diberi nama Tarekat
Safawiyah,[3] yang
diambil dari nama pendirinya Safi Al-din (1252-1334 M), dan nama itu terus dipertahankankan sampai
tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan
setelah gerakan ini berhasil mendirikan Kerajaan[4]
Menurut Harun Nasution, di Persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan
suatu kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi
bernama Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabila di Azerbaijan.[5]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa penggagas awal berdirinya Kerajaan
Safawi adalah Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabila di Azerbaijan atau dikenal
dengan Safi Al-Din, yang semula hanya sebagai mursyid tarekat dengan
tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran
agama. Namun pada tahun selanjutnya setelah memperoleh banyak pengikut fanatik
akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik dan diteruskan
mendirikan sebuah kerajaan. Perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai
sejak berdirinya kerajaan Safawi, yang dipelopori oleh Safi Al-Din sejak tahun
1252 hingga 1334 M. Kerajaan ini berdiri di saat Kerajaan Turki Usmani mencapai
puncak kejayaannya.[6]
SILSILAH
RAJA-RAJA KERAJAAN SAFAWI
Safi Al-Din (1252-1334
M)
Sadar Al-Din Musa
(1334-1399 M)
Khawaja Ali (1399-1427
M)
Ibrahim (1427-1447 M)
Juneid 1447-1460 M)
Haidar 1460-1494 M)
Ali (1494-1501 M)
1.
Ismail (1501-1524 M)
2.
Tahmasp I (1524-1576
M)
3. Ismail II (1576-1577 M)
4. Muhammad
Khudabanda (1577-1787 M)
5. Abbas I
(1588-1628 M)
6.
Safi Mirza (1628-1642
M)
7.
Abbas II (1642-1667 M)
8.
Sulaiman (1667-1694 M)
9.
Husen (1694-1722 M)
10. Tahmasp II (1722-1732 M)
11. Abbas III (1732-1736 M)
Safi Al-Din berasal dari keturunan yang berada namun ia memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia
keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh
Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M).[7]
yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani, karena prestasi dan ketekunannya
dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din dijadikan menantu oleh gurunya tersebut. Safi
Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru sekaligus
mertuanya yang wafat tahun 1301 M, pengikut tarekat ini sangat teguh memegang
ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi
orang-orang ingkar dan golongan “ahli-ahli bid’ah”. Namun pada perkembangannya,
gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang
mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang
berada di luar Ardabil inilah, Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang
diberi nama Khalifah untuk memimpin murid-muridnya di daerah masing-masing.
Suatu ajaran Agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali
menimbulkan keinginan di kalangan ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama
kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur,
fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain
Syi’ah.[8]
Dalam dekade 1447 – 1501 M Safawi memasuki tahap gerakan politik, sama
halnya dengan gerakan sanusiyah di Afrika Utara, Mahdiyah di Sudan dan
Maturdiyah serta Naksyabandiyah di Rusia. Kecenderungan memasuki dunia politik
secara konkrit tampak pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti
safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan
keagamaan. Perluasaan kegiatan ini ternyata menimbulkan konflik antara Juneid
dengan kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu, misalnya konflik politik
dengan kerajaan-kerajaan Kara Koyunlu (domba hitam) salah satu suku bangsa
Turki yang berkuasa di wilayah itu yang
bermahzhab Sunni di bawah kekuasaan Imperium Usmani. Karena konflik tersebut
maka ia mengalami kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini
ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK. Koyunlu (domba putih),
juga suatu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu
menguasai sebagian besar Persia.[9]
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah menghimpun
kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik denagn Uzun Hasan. Ia juga
berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada
tahu 1459 M, Juneid mencoba merebut
Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Circassia tetepi
pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh
dalam pertempuran tersebut. Keteika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan
dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa
diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan
Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salh seorang putri Uzun Hasan.
Dari perkawinan itu lahirlah Ismail, yang di kemudian hari menjadi pendiri
Kerajaan Safawi di Persia.[10]
Kemenangan AK-Koyunlu terhadap Kara
Koyunlu tahun 1476 M, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar
dipandang sebagai rival politik oleh AK-Koyunlu dalam meraih kekuasaan yang
selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu AK Konyulu, tetapi itulah
politik. Ak Konyulu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan
Sirwan, AK Konyulu mengirim bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan
Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.[11]
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentranya untuk menuntut
balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Konyulu. Tetapi Ya’kub
pemimpin AK Konyulu ketika itu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama
kedua saudaranya Ibrahim dan Ismail beserta ibunya, di fars selama empat
setengah tahun (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, Putra Mahkota AK
Konyulu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. setelah
saudara sepupu Rustam itu dapat dikalahkan. Ali bersaudara (Ibrahim dan Ismail)
beserta ibunya kembali ke Ardabil. Akan tetapi tidak lama kemudian Rustam
berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara pada tahun 1494 M dan Ali
terbunuh dalam serangan ini.[12]
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat
itu masih berusia 7 tahun. Selama 5 tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas
di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para
pengikutnya di Azerbaijan, Syria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu
dinamai Qizilbash (baret merah).
Ismail memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid untuk mengkonsolidasikan
kekuatan politiknya dengan menjalin hubungan dengan para pengikutnya.[13]
Di bawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang
dan mengalahkan AK Konyulu di Sharur dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus
berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Konyulu dan berhasil
merebut serta mendudukinya. Di kota inilah Ismail memproklamirkan dirinya
sebagai Raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga sebagai Ismail I.[14]
dengan ia sendiri sebagai Syaikhnya yang pertama dan menetapkan Syi’ah Dua
Belas sebagai agama resmi kerajaan Safawi. Dengan diproklamasikannya kerajaan
Safawi sebagai kerajaan dan ditetapkan pula Syi’ah sebagai agama kerajaan maka
merdekalah Persia dari pengaruh dari kerajaan Usmani dan kekuatan asing
lainnya. Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Safawi
yang akan turut memberikan kontribusi dalam perkembangan kekuasaan Islam.
B.
Kemajuan Peradaban
Islam pada Masa Kerajaan Safawi di Persia
Pada masa pemerintahan Ismail, Safawi berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke
daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan
hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia
beruasaha mengembangkan wilayahnya sampai ke Turki Usmani tetapi mengadap
kekuatan besar dari Kerajaan Turki Usmani tetapi menghadapi kekuaatan besar
dari kerajaan Turki Usmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam
perebutan wilayah ini Safawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail
mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya dirinya sehingga
ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup hura-hura. Hal ini
berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan Safawi. Contohnya adalah
terjadinya perebutan kekuasaan antara pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat
keturunan Persia dan Qizilbash.[15]
C.
Kondisi Politik dan Sosial Kerajaan Syafawi
Keadaan politik ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I.
Naik tahta dari tahun 1587- 1629 dan ia menata administrasi negara dengan cara
lebih baik. Langkah-langkah yang ditempuh
oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah:
1.
Menghilang dominasi
pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang
beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia,
Armenia dan Sircassia.
2.
Mengadakan perjanjian
damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga
khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Unar, Usman) dalam khotbah Jumatnya.[16]
Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan
Safawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut
kembali daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I
berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai
menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja,
Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil
menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan
Bandar Abbas[17]
Pada masa Abbas I inilah kerajaan Safawi mengalami masa kejayaan yang
gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :
1. Bidang Politik dan Pemerintahan
Pengertian
kemajuan dibidang politik disini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara
yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur
oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam
percaturan politik internasional.
Sebagaimana
lazimnya kekuatan politik suatu Negara ditentukan oleh kekuatan angkatan
bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama,
membangun angkatan bersenjata dinasti Safawi yang kuat, besar dan modern.
Tentara Qizilbash yang pernah menjadi tulang punggung Dinasti Safawi pada
awalnya dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi, sehingga ia membangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti
satuan militer ini ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang
Kristern di Georia dan di Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer
yang militan dan persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat
Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.[18]
Berkat
kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu
stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh
kerajaan lain pada masa sebelumnya.
2.
Bidang keagamaan
Pada masa abbas,
kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah- khalifah sebelumnya yang
senantiasa memaksakan Syiah menjadi agama negara, tetapi ia menanamkan sikap
toleransi. Menurut Hamka, terhadap politik
keagamaan yang beliau tanamkan paham toleransi atau lapang dada amat
besar. Paham syiah tidak menjadi paksaan, bahkanorang sunni dapat bebas
mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu saja, pendeta pendeta nasrani
diperbolehkan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak
bangsa Armenia yang telah menjadi penduduk setia dikota isfahan ( Hamka)[19]
3. Bidang Ekonomi
Kerajaan
Safawi pada masa Syah Abbas mengalami kemajuan dibidang ekonomi, terutama
industri dan perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I
ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah
kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal
ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antar Timur dan
Barat. Yang biasa diperebut oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, sesungguhnya
menjadi milik Kerajaan Safawi.[20]
Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah
Bulan Sabit Subur (fortile crescent).
4. Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains
Dalam sejarah
Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang peradaban tinggi dan berjasa
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa
ilmuwan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi
(generalis iptek), Sadar Al-Din Al-Syaerazi (filosof), dan Muhammad Baqir bin
Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah-lebah).[21]
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada
kerajaan Mughal dan Turki Usmani.[22]
Pada masa Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya
dikalangan orang-orang persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan.
Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan
Dinasti Safawi sebagai agama resmi Negara.
Dalam Syiah
Dua Belas ada dua golongan, yakni Akhbari dan Ushui. Mereka berbeda didalam
memahami ajaran agama. Yang pertama cenderung berpegang kepada hasil ijtihad
para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang kedua mengambil dari sumber ajaran
Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujthadi. Golongan
Ushuli inilah yang palling berperan pada masa Safawi.
Menurut Hodhson,
ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi tersebut. Pertama,
aliran filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan
Al-Farabi. Kedua filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Syaharawadi pada abad ke
XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan Isfahan dan Syiraj. Di
bidang filosof ini muncul beberapa orang filosof diantaranya Muhammad Baqir
Damad (W. 1631 M) yang dianggap guru ketiga sesudah Aristoteles dan Al-Farabi,
tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang menurut sejartah ia adalah seorang
dialektikus yang paling cakap di zamannya.[23]
5. Bidang Perkembangan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota Kerajaan yang sangat
indah. Disana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah
sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota Isfahan
juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secra apik. Ketika Abbas
I wafat di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 Akademi, 1802 penginapan dan 273
pemandian umum.[24]
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunannyaseperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1611
M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya
terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet,
permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni
lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I.
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang
dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar
Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan
militer. Kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam
melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan
seni dan gedung-gedung bersejarah.[25]
D.
Masa Kemunduran dan
Kehancuran Kerajaan Safawi
Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi dimulai sejak Raja Abbas I telah tiada, sepeninggal Abbas I kerajaan
Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642
M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husen (1694-1722 M),
Tahmasp II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M). Pada masa raja-raja
tersebut, kondisi Kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang,
tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada
kehancuran, karena Kerajaannya ketika itu diperintah oleh raja-raja yang lemah
dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang
respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan[26].
Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I adalah sebagai berikut:
No
|
Nama Raja
|
Masa Berkuasa
|
Indikasi
Kemunduran & Kehancuran
|
1
|
Safi Mirza
|
1628-1642
|
- Jiwa lidershipnya lemah.
- Sangat kejam terhadap para pembesar Kerajaan.
- Memiliki sifat cemburu terhadap petinggi kerajaan.
- Kota Qandahar lepas dan diduduki Kerajaan Mughal
(Sultan Syah Jehan).
- Dan Bagdad direbut oleh Kerajaan Turki Usmani.
|
2
|
Abbas II
|
1642-1667 M
|
-
Sifat dan Moralnya
jelek.
-
Pemabuk/suka minum
minuman keras.
|
3
|
Sulaiman
|
1667-1694
|
- Kejam terhadap para pembesar Kerajaan, terutama
terhadap orang-orang yang dicurigainya
- Karena sifat & moralnya yang buruk itu rakyat
bersikap masa bodoh terhadap pemerintahannya
|
4
|
Husen
|
1694-1722 M
|
- Memberi kekuasaan yang besar kepada para ‘ulama
Syi’ah.
- Ulama Syi’ah sering slah guna kewenangan/kekuasaan
yang diberikan raja.
- Ulama Syi’ah sering memaksakan pendapat terhadap
penganut aliran Sunni sehingga membuat golongan Sunni marah.
- Konflik yang terjadi antara golongan Syi’ah dengan
Sunni berimplikasi pada sistem pemerintahan menjadi tidak stabil secara
berkelanjutan.
- Pernah terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang di
pimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa
pemberontakan Mir mahmud ini, kota Qandahar lepas dari safawi, kemudian
disusul kota Isfahan. Pada 12 oktober 1722 M Shah Husein menyerah.
|
5
|
Tahmasp II
|
1722-1732 M
|
Dengan
dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang
berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasannya di Astarabad. Kemudian ia
bekerja sama dengan Madhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki
kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian
Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.
|
6
|
Abbas III
|
1732-1736 M
|
- Tidak berpengalaman.
- Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian
kerajaan Safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah
kerajaan Safawi.
|
Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami
kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Safawi :
a. Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan mazhab antar kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Usmani,
berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliaran Syi’ah merupakan ancaman langsung
terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kedua kerajaan tersebut
berlangsung lama, meskipun konflik itu pernah berhenti sejenak ketika tercapai
perdamaian antara keduanya pada masa Raja Shah Abbas I, namun tak lama kemudian
Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tida ada
lagi perdamaian antara kedua kerajaan besar Islam itu.[28]
b. Adanya dekadensi moral yang melanda sebagaian para
pemimpin Kerajaan Safawi.
c. Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk
Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qilzibash
(baret merah) hal ini dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara
terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani. Seperti yang di alami oleh
pasukan Qilzibash, sementara anggota pasukan Qilzibash yang baru
tidak memiliki militansi dan semangat yag sam,a dengan anggota Qilzibash
sebelumnya.
d. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk
perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.[29]
Dengan demikian bentuk-bentuk institusi kenegaraan, kesukuan dan institusi
keagamaan safawiyah yang diciptakan oleh Abbas I telah mengalami perubahan
secara mencolok pada akhir abad tujuh belas dan awal abad ke delapan belas.
[2] Harun Nasution, Perkembangan dalam Islam : Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1992) h. 14
[9] Ibid., h. 139
[11] Ibid.,
h. 140
[13] Ibid.,
h.141
[14] Ibid.,
139
[15] www.resotika.Blogspot.
[18] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT Raja
Grafindo) h. 175
[19] Dedi
supriadi, op.cit., h. 256
[20] Badri
Yatim op.cit., h. 144
[21] ] Ibid.,h. 144
[22] Ajid
Thohir, op.cit., h. 177
[23] Ibid.,
h. 178
[25] Ibid.,
h. 145
[27] Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981) h. 71-73.
[28] Badri yatim op.cit., h. 157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar