A. Pendahuluan
Diantara syarat-syarat
hadits shahih adalah bahwa hadits itu tidak syadz (ganjil). Karena pengertian
hadits shahih menurut para ahli hadits adalah : hadits yang bersambung sanadnya;
diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat hafalannya pula, dan seterusnya hingga mata rantai terakhir, tidak syadz; dan
tidak cacat. Dengan batasan seperti ini, hadits shahih terhindar dari sifat
mursal, munqathi’ (terputus sanadnya) dan syadz, serta semua hadits yang
memiliki cacat periwayatan.
Suatu sanad hadits yang
tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadits yang kualitas sanadnya tidak
shahih, termasuk di antaranya kaidah keempat (terhindar dari syuzuz).
Maka urgensi kaidah syaz dalam kaidah keshahihan hadits memiliki
kedudukan yang sama pentingnya dengan kaidah yang lain.
B. Makna dan Pengertian
Syadz
Kata syadz
secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu
yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz bermakna: “yang
menyendiri”.[1]
Menurut Istilah hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan rawi maqbu (bisa
diterima), yang menyelisihi dengan orang yang labih utama.[2]
Adapun secara istilah, Menurut Ibnu Hajar,
hadits syadz adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya”.
Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat hafalannya, lebih
banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat riwayatnya lebih
dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih sedikit.[3]
Menurut al-Sayuti : “Hadits syadz adalah yang
diriwayatkan oleh seorang thiqah perawi yang diyakini kejujuran dan disiplin
hafalannya tetapi bercanggah dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang ramai
yaitu sekumpulan perawi yang thiqah dan bukan apa yang diriwayatkannya tidak
diriwayatkan oleh orang lain".[4]
Menurut al-Syafi’i syadz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat siqah bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak.
Al-Hakim berkata: “hadits
yang diriwayatkan oleh seorang yang kepercayaan, padahal tiada mempunyai
sesuatu mutabi’ (yakni tiada mempunyai sesuatu jalan yang lain yang menguatkan
riwayat itu).”
Menurut Abu Ya’la
al-Khaililiy. “Hadits Syaz itu adalah mempunyai hanya satu sanad dan hadits itu
hanya diriwayatkan oleh seorang yang thiqah atau tidak thiqah, maka riwayat
oleh seorang yang ‘tidak thiqah’ adalah ditinggalkan (متروك), manakala riwayat oleh seorang yang thiqah pula ‘diberhentikan
padanya’ (توقف
فيه) dan tidak dijadikan
hujah.”[5]
Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa hadits syadz adalah hadits yang ganjil karena
hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau bertentangan dengan riwayat orang
yang memiliki tingkat validitas lebih tinggi, menurut pendapat yang diakui oleh
para ahli hadits.
Pada dasarnya hadits syaz
tergolong dalam hadits dhaif dan ditolak, tidak boleh dijadikan hujah serta
tidak boleh beramal. Hadits syaz yang ditolak, boleh dinaik tarafkannya kepada
hasan li ghairih jika diriwayatkan melalui raikaian sanad lain yang lebih kuat
dan lebih baik daripadanya.[6]
C.
Contoh Hadits Syadz
Contoh dari syadz pada
sanad hadits adalah (1):
Hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari jalan Ibnu Uyainah dari Amr bin
Dinar dari ‘Anusajah dari Ibnu Abbas:
ان
رجلا توفي على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يدع وارثا إلامولى هو أعتقه.
“Bahwa ada seseorang pada zaman Rasulullah meninggal dan
tidak meninggalkan warisan kecuali satu budaknya yang telah ia merdekakan (HR.
Abu Daud).
Ibnu Juraij yang lainnya juga meriwayatkan hadits
ini secara maushul (tersambung). Adapun Hammad bin Zaid meriwayatkan dengan
menyelisihi mereka. Dia meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari ‘Ausajah dan tidak
menyebutkan Ibnu Abbas. Oleh karena itu Abu Hatim menjelaskan: “Yang mahfudz
adalah hadits Ibnu Uyainah”.
Hammad bin Zaid adalah
termasuk orang yang adil dan dhabit (hafalannya kuat) namun walaupun begitu Abu
Hatim lebih menguatkan riwayat yang disebutkan oleh kebanyakan rawi yang lain.[7]
Adapun contoh dari Syadz
pada matan hadits adalah (1):
Matan tidak syaz
عن
الزهري عن عروة عائشة قالت : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صلى ركعتين الفجر
الضطجع على شقه الأيمن.
Al-Zuhri meriwayatkan
daripada ‘Urwah daripada ‘Aisyah, katanya: Nabi Saw itu apabila selepas solat
subuh dua rakaat, baginda berbaring diatas rusuk kanannya.
Matan
syaz
حدثنا
عبد الواحد بن زياد حدثنا الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال، قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم إذا صلى أحدكم ركعتين الفجر فليضطحع على يمينه.
‘Abd al-Wahid bin Ziyad meriwayatkan daripada al-Amasy
daripada Abu Salih daripada Abu Hurairah, katanya: Rasulullah Saw bersabda:
Apabila salah seorang kamu selesai solat subuh dua rakaat, berbaringlah di atas
rusuk kanannya.
Menurut riwayat
perawi-perawi lebih thiqah, Rasulullah Saw berbaring atas rusuk kanan dengan
gaya bahasa biasa (tidak menunjukkan perbuatan itu mengandungi kata suruh).
Namun menurut riwayat yang syaz, ia menggunakan gaya bahasa menunjukkan kata
suruh.[8]
Contoh dari syadz pada
sanad hadits adalah (2):
Contoh hadits syadz dalam
sanad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-RTurmudzi, Nasa’i, dan Ibn
Majjah dengan sanad Ibnu Uyainah, dari Amier bin Dinar dari ‘Aisyah ra. (maula
dari Ibnu Abbas), dari Ibnu Abbas:
ان رجلل ثوفي على عهد رسول الله
صلى الله عليه وسلم ولم يدع وارثا الأمولى
...هو
اعتقه, قدفع رسول الله صلى اللع عليه وسلم ميراثه اليه
“Sesungguhnya pada zaman Rasulullah Saw, ada seorang
laki-laki meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, selain budak yang
dimerdekakannya, Rasulullah Saw. Menyuruhkan peninggalannya kepadanya.”
Sanad Ibn Umaiyah ini
didukung Ibnu Juraij dan lainnya yang sambung sampai ke Ibnu Abbas, tetapi
Hammad bin Zaid menyalahi mereka, sebab ia meriwayatkan hadits tersebut dari
Amer bin Dinar, dari ‘Aisyah langsung ke sumber hadits tanpa menyebut Ibnu Abbas.
Dari penjelasan di atas,
jelasnya, Hammad, dia sendiri meriwayatkan hadits di atas secara mursal (tanpa
menyebut sahabat Ibnu Abbas) yang menyalahi riwayat Ibnu Uyainah, riwayat Ibnu
Juraij dari riwayat lainnya yang sambung ke Ibnu Abbas. Oleh sebab itu riwayat
Hammad adalah syadz, sedangkan riwayat Ibnu Uyainah adalah Mahfudz, padahal
Hammad dan Ibnu Uyainah adalah sama-sama tsiqqah.
Contoh dari Syadz pada
matan hadits adalah (2)
Contoh hadits syadz pada
matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nabitsah
Al-Hudzaili, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب
“Hari-hari
tasyrik hari-hari makan dan minum”.
Dalam semua sanad hadits itu memang demikian,
kecuali dalam satu sabad yang di dalamnya terdapat Musa bin Ulaiy, ia
meriwayatkan dari ayahnya dari ‘Uqbah bin Amir dengan menambahkan yauma
arafata(hari wuquf di tanah arafah) dengan demikian maka hadits yang
diriwayatkan oleh Musa bin Ulaiy adalah syadz, karena menyalahi riwayat
beberapa ahli hadits, sebab tambahan kata yauma arafata.[9]
D. Penutup
Kata syadz secara bahasa
adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”.
Menurut mayoritas ulama, kata syadz bermakna “yang menyendiri”. Menurut istilah
hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan rawi maqbul (bisa diterima), yang
menyelisihi dengan orang yang labih utama.
Pada dasarnya hadits syaz
tergolong dalam hadits dhaif dan ditolak, tidak boleh dijadikan hujah serta
tidak boleh beramal.
Sebagaimana hadits dhaif
kejanggalan (syadz) suatu hadits dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada
matan.
Daftar Pustaka
Al- Qathan, Syaikh Manna,
Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Kautsar 2005.
Ali Rosmawati dan Mat Zin, Pengantar Ulum Hadits, Jakarta: Pustaka
Salam, 2005.
Al-Sayuti, Tadrib al-Rawi, Jenis ke-13: Hadits Syaz’,(Beirut: Dar
l-Fikr, 1993).
Dalimunthe, Reza Pahlevi, H. Dr. Lc. M.Ag.. Langkah Verifikasi Syaz
pada Hadits (Sebuah Rekonstruksi Metodologis). Disertasi. (Universitas
Islam Negeri (UIN) Makassar. Makassar. 2012)
M. Firdaus, 2012, Pengenalan Hadits Syadz dan Munkar http://syarahhadits12.blogspot.com diakses pada 10 November 2014.
Mahmud Thahan, 2013, Hadits Syadz an Hadits mahfudz, http://alquranmulia.wordpress.com diakses pada 10 November 2014
Mudasir, H.. Ilmu Hadits (Bandung : CV Pustaka Setia, 2005)
Nn, 2010, Hadits-Hikmah Al_qur’an & Mutiara Hadits: Hadits Syadz dan Mahfudz, Artikel, http://www.alsofwah.pr.id/cetakhadits.php?id=201 diakses pada 10 November 2014.
[1]
Al-Qathan, Syaikh Manna, pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,2005 ) h.166
[2]Mahmud Thahan, 2013, Hadits Syadz an Hadits mahfudz, http://alquranmulia.wordpress.com
diakses pada 10 November 2014
[3]
Mudasir, Ilmu Hadits (Bandung : CV Pustaka Setia, 2005) h. 148
[4]
Al-Sayuti, Tadrib al-Rawi, Jenis ke-13: Hadits Syaz’,(Beirut: Dar
l-Fikr, 1993) h. 150
[5]
Reza Pahlevi Dalimunthe, Langkah Verifikasi Syaz pada Hadits (Sebuah
Rekonstruksi Metodologis). Disertasi. (Universitas Islam Negeri (UIN)
Makassar. Makassar. 2012)h. 11
[6]
Rosmawati Ali dan Mat Zin, Pengantar Ulum Hadits, Jakarta: Pustaka
Salam, 2005. h. 246
[7]
Nn, 2010, Hadits-Hikmah Al_qur’an & Mutiara Hadits: Hadits Syadz dan Mahfudz, Artikel, http://www.alsofwah.pr.id/cetakhadits.php?id=201
diakses pada 10 November 2014.
[8]M.Firdaus,
2012, Pengenalan Hadits Syadz dan Munkar http://syarahhadits12.blogspot.com
diakses pada 10 November 2014.
[9]
Nn, 2012, Macam-macam Hadits Dhaif, http://ediichwanun.wordpress.com
diakses pada 10 November 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar