Minggu, 14 Juni 2015

Makalah qawa'id Tafsir; Asbabun Nuzul



BAB I
PENDAHULUAN
Tidak di ragukan lagi bahwa Alqur’an adalah kalamullah, bukan perkataan manusia. Firman tersebut berbentuk wahyu yang di sampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi  Muhammad SAW. Untuk umat manusia sebagai petunjuk yang di bukukan dalam satu kitab. Alqur’an merupakan sumber utama dan pertama dari ajaran islam. Setiap umat islam wajib meyakini wujud dan kebenarannya. Dalam pandangan Az-Zarqani, alqur,an adalah penutup semua kitab yang di turunkan Allah dan di turunkan kepada  semua penutup nabi. Ia menjadi kitab suci yang bersifat umum dan abadi. Ia juga merupakan  ajaran akhlak untuk kemaslahatan makhluk; menjadi petunjuk bagi penghuni langit dan bumi.
Mengenai kalamullah, tentunya terdapat asbab an- nuzul (sebab- sebab turunnya  ayat Alquran) itu sendiri, dan terdapat sekelompok ulama yang menyusun kitab secara khusus tentang sababun nuzul. Ulama yang pertama kali menyusun adalah Ali Ibnul Madini, guru Imam Bukhari. Di antara yang paling popular adalah kitab al-Wahidi, betapapun di dalam kitab itu terdapat kekurangan, dan kitab itu telah diringkas oleh al-Ja’bari yang membuang sanad- sanadnya dan tidak menambah sedikitpun.[1]
Para ulama islam sangat memahami bahwa Al-qur’an tidak di turunkan kepada nabi muhammad  sekaligus dalam bentuk satu kitab seperti yang dilihat sekarang. Alqur’an di turunkan secara bertahap, terkadang hanya satu ayat, terkadang hanya beberapa ayat, namun ada juga yang turun dalam satu surah, ada ayat yang berhubungan dengan peristiwa, dan ada pula yang berbentuk suatu cerita atau ajaran tanpa di hubungkan dengan peristiwa apapun ketika itu. Realitas ini tampaknya menyebabkan Az- Zarqani membagi turunnya ayat Al-qur’an itu menjadi dua bagian yaitu bagian yang di turunkan tanpa adanya hubungan sebab, dan bagian yang ada hubungannya dengan suatu sebab. Namun demikian, seyogyanya, kita harus memahami semua turunnya ayat al-qur’an, pasti berkaitan dengan situasi dan kondisi saat itu, baik memiliki hubungan dengan ayat al-qur’an yang turun tersebut atau tidak. Situasi itu mungkin berbentuk kejadian umum, mungkinberbentuk pernyataan, mungkin berbentuk perbuatan orang dan sebagainya.
Oleh kerena itu, agar Al-qur’an benar benar menjadi petunjuk dalam kehidupan, di butuhkan penjelasan dari Nabi dan para sahabatnya dan dari ulama. Agar sahabat  Nabi dan para ulama dapat memberi penjelasan sesuai dengan maksud turunnya ayat tersebut, selain dari  pengetahuan bahasanya mereka harus mengetahui dan memahami dalam situasi dan kondisi seperti apa ayat itu turun. Oleh sebab itu, hampir semua yang berkenaan dengan Al-qur’an menekankan pentingnya asbab an-nuzul (alasan pewahyuan).






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab an- nuzul  merupakan bentuk idhafah dari kata“asbab”dan “nuzul”. Secara etimologis Asbabunnuzul terdiri dari kata “اسباب” (bentuk plural dari kata “سبب”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/illat (Almunawwir,1997:602), sedangkan kata “نزول” berasal dari kata “نزل” yang berarti turun (Al munawwir,1997:1409). Asbabunnuzul dalam ilmu Al-Qur’an secara bahasa berarti sebab-sebab turunnya (ayat-ayat) Al-Qur’an.[2] Jadi, secara pengertian , asbab an-nuzul adalah sebab- sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu dapat di sebut asbab an- nuzul, dalam pemakaiannya,  ungkapan asbab an- nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab sebab yang melatarbelakangi turunnya Al- Qur’an.[3]

Banyak pengertian termenologi yang dirumuskan oleh para ulama, di antaranya:
a.       Menurut Az-Zarqani “asbab an- nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
b.      Ash-Shabuni “asbab an-nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik pertanyaan yang di ajukan kepada nabi muhammad atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.”
c.       Shubhi Shalih “Asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al- qur’an ( ayat- ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu itu,sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum hukum di saat peristiwa itu terjadi.”[4]
d.      Mana’ Al-Qthathan: “ asbab an-nuzul adalah peristiwa peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat al-qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang di ajukan kepada Nabi.”[5]
e.       M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabunnuzul sebagai “kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah”.[6]
Menurut Bahasa  “asbab al-nuzul” berarti turunnya ayat ayat al-qur’an. Al-qur’an di turunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Al- qur’an di turunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kerena itu, dapat di katakan bahwa terjadinya  penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia merupakan sebab turunnya ayat al-Qur’an. Shubhi Al-Shalih memberikan defenisi sebab al-nuzul sebagai berikut:
            “Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban  terhadap sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya itu.”
Defenisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat  ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal  yang berhubungan dengan peristiwa tertentu memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Sebab sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga macam.
Pertama, peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan Aus san segolongan dari Khajraz. Perselisihan itu timbuldari intrik intrik yang di tiupkan oleh orang yahudi sehingga mereka berteriak teriak: “ senjata-senjata”.peristiwa itu menyebabkan turunnya beberapa ayat  surah Ali Imran mulai dari firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä bÎ) (#qãèÏÜè? $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# Nä.rŠãtƒ y÷èt/ öNä3ÏZ»oÿÎ) tûï̍Ïÿ»x. ÇÊÉÉÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”( Q.S. Ali Imran: 100)
            Ayat di atas merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang-orang dari perselisihan dan merangsang orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
            Kedua, perisiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seseorang  yang mengimani salat sedang mabuk sehingga tersalah membaca surah Al-kafirun. Ia baca
ö@è% $pkšr'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$#  . ßç6ôã & $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ  
dengan tanpa لا  pada pada ayat kedua tersebut, peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? ÇÍÌÈ 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....................
 ( Q.S.An-nisa :43)
            Ketiga : peristiwa itu berupa cita- cita dan keinginan, seperti persesuaian –persesuaian (muwafaqat )umar bin khattab dengan ketentuan ayat ayat al- qur’an, dalam sejarah ada beberapa harapan umar yang di kemukakan nabi muhammad. Kemudian turun ayat kandungannya sesuai dengan harapan- harapan umar tersebut. Sebagian ulama menulisnya secara khusus. Sebagai contoh imam Al-Bukhari dan lainnya meriwayatkandari Anas ra.bahwa umar berkata: “ aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal: Aku katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kita jadikanmakam ibrahim tempat shalat.
            Adapun sebab- sebab turun ayat dalam bentuk pertanyaan dapat di kelompokkan tiga macam:
Pertama: pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti ayat:
štRqè=t«ó¡our `tã ÏŒ Èû÷ütRös)ø9$# (........... ÇÑÌÈ  
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. (Q.S. Al- kahfi:83)
            kedua: pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang berlangsung pada waktu itu, seperti ayat:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".( Q.S Al- isra: 85)
            Ketiga: pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti ayat:
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$­ƒr& $yg9yöãB ÇÍËÈ  
“ Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”( Q.S An- Naziat: 42)
           
            Defenisi  di atas merupakan pembatasan yang harus ada untuk membedakannya dari ayat ayat turun tanpa sebab, sekalipun ayat ayat itu berbicara tentang peristiwa peristiwa dan kejadian masa lalu atau yang akan datang, seperti sebagian kisah para nabi dan bangsa bangsa terdahulu dan pembicara tentang hari kiamat, serta hal yang berkaitan dengannya, namun kisah kisah dan hal hal yang berkaitan dengannya, namun kisah kisah dan hal hal hari kiamat itu bukan sebab turunnya ayat tersebut.
            Sabab al- Nuzul yang di kemukkakan di atas membawa kepada pembagian ayat – ayat al-qur’an kepada dua kelompok.
Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab dan kedua adalah kelompok yang turun dengan sebab tertentu.[7]
            Dan menurut Manna’ Khalil al- Qattan  defenisi sebab turunnya  suatu ayat  Qur’an berkisar dua hal:
1.      Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu.
2.      Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Quran menerangkan hukumnya.[8]

            Pengertian menurut istilah asbab an-nuzul berarti sebab- sebab turun ayat.dalam pengertian sedarhana, turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut tidak turun. Jika memang begitu pengertiannya, tidaklah sesuai dengan hakikat al-qur’an itu sendiri, sebab ayat itu sudah adadan lengkap di lauh mahfuzh di ciptakan oleh Allah, di bawa oleh malaikat Jibril dan di sampaikan kepada nabi, maksud Allah menurunkan ajaran itu dalam bentuk wahyu ( ayat ), tentu tidak di ikat atau di hukum oleh alam yang berbentuk peristiwa itu, sehingga tanpa sebab peristiwa alam ini, suatu ayat Al-Qur’an itu tidak turun. Hal itu tidak sesuai dengan sifat Allah yang Mahakuasa. Allah tidak terikat dengan makhluk dalam menyampaikan rencana dan kehendak-Nya.[9]  
Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-Irfan fi Ulum Al-Quran, yang dimaksud dengan  istilah asbab nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi mengiringi ayat-ayat itu diturunkan untuk membicarakan peristiwa tersebut, atau menjelaskan ketentuan hukumnya. Sementara menurut Manna Al-Qahtan asbab nuzul  menurut istilah adalah sebagai peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan waktu kejadian peristiwa tersebut, baik berupa pertanyaan maupun kasusu-kasus tertentu.[10]
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat, yaitu :
1.      Ayat turun ketika terjadi suatu peristiwa, yakni mengenai pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita & harapan.
Sebagaimana diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW naik ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?”, lalu ia berdiri. Maka turunlah surat Al-Lahab.
2.      Ayat turun ketika Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, yakni mengenai pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlangsung, dan masa yang akan datang.
Ketika orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi SAW tentang apa itu roh. Pertanyaan mereka kemudian direkam dalam Al-Qur'an, Yas alunaka ani ruh, (mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang roh), kemudian dijawab Allah, quli ruhu min amrillah, katakan olehmu Muhammad bahwa roh itu semata-mata urusan Allah. Apa yang kalian ketahui hanyalah sedikit dari ilmu yang Allah berikan kepada kalian.[11]
Sedangkan menurut pakar tafsir di Indonesia M. Quraish Shihab, asbabubun nuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat itu tidak akan turun. Pemakaian kata asbab bukanlah dalam arti yang sebenarnya. Tanpa adanya suatu peristiwa, Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti turunnya ayat Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena Al-Qur’an tidak berbentuk fisik atau materi. Pengertian turun menurut para mufassir, mengandung pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya, Muhammad SAW, dari alam ghaib ke alam nyata melalui malaikat Jibril.[12]

B.     FUNGSI DAN KEGUNAAN ASBAB AN- NUZUL
Dengan memperhatikan pengertian, ruang lingkup pembahasan dan materi yang dibahas, kita dapat menentukan fungsi asbab an-nuzul ini dalam  ilmu tafsir, yaitu sebagai pengetahuan membantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat al- qur’an menjadi pelajaran yang praktis yang dapat dan mudah di amalkan dalam kehidupan sehari hari.
Adapun kegunaan banyak di sebutkan oleh para ahli ilmu tafsir. Dalam kitab Al-itqan dapat kita baca kaidahnya yaitu:
1.       Mengetahui hikmah yang timbul ketika Allah mensyariatkan ajaran dengan ayat yang di turunkan.
2.      Kekhususan hukum pada peristiwa (sebab) turunnya ayat (ini bagi mereka yang berpendapat bahwa yang di pegang ialah ke khususan sebab, bukan ke umuman lafazh
3.      Bahwa kadang – kadang teks ayat menggunakan lafazh yang umum dan sebab nuzul, merupakan ke khususan sebagai satu contoh.
4.      Ibn Daqiqil’id berpendapat bahwa sebab nuzul itu merupakan cara yang kuat  dalam memahami alqur’an.
5.      Ibn Taimiyah menganggap bahwa pengetahuan sebab nuzul itu menjelaskan pemahaman ayat,kerena tahu sebab, akan mengakibatkan tahu pula penyebabnya
6.      Menolak keraguan pada kekhususan arti yang dapat dalam teks ayat.
Az-Zarqani menuturkan faedah yang hampir sama dengan yang ada dalam At-itqan dengan sedikit perbedaan redaksi dan tambahan. Faedah yang dikemukakan Az- Zarqani itu adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui tentang hikmah Allah secara jelas dalam mensyariatkan hukum melalui  ayat yang di turunkan-Nya itu.
2.      Menolong untuk memahami ayat dan mengurangi, kesulitan memahaminya.
3.      Menolak keragu-raguan pada kekhususan arti yang tersebut dalam ayat.
4.      Mengetahui kekhususan hukum pada sebab (peristiwa) yang menyebabkan ayat itu turun.
5.      Mengetahui peristiwa yang menjadi sebab nuzul ayat itu, hukumnya tidak keluar dari hukum ayat.
6.      Mengetahui orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat itu secara jelas.
7.      Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat yang turun itu.[13]

C.     MACAM MACAM ASBAB AN- NUZUL
1.      Ada dua jenis yang di gunakan oleh para perawi dalam menggunakan asbab An- nuzul  yaitu:
a. Sharih (visionable/jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan), dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawinya mengatakan:
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah .....
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat .....
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.

b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan. Adapun redaksi yang di gunakan bila perawinya mengatakan:

نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
احسب هذه الآية نزلت فىكذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما احسب نزلت هذه الآية الا فىكذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)[14]

D.    URGENSI DAN KEGUNAAN ASBAB AN-NUZUL
Az-Zarqani dan As- Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia- sia dalam memahami Al-qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-qur’an dengan meletakkan ke dalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan ini tidaklah berdasar, kerena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melaluipemahaman yang semestinya terhadap makna Al-qur’an dalam konteks kesejarahannya.
Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejahteraan yang terakumulasi dalam riwayat riwayat asbab An-Nuzul merupakan satu hal yang signifikan untuk memahami pesan pesan Al-qur’an. Dalam satu statemennya, Ibn Taimiyah menyatakan:

Asbab An-Nuzul sangat menolong dalam menginterpretasi Al-qur’an”
Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘Ied dalam pernyataannya:
penjelasan terhadap asbab An-Nuzul merupakan metode yang kondusif untuk menginterprestasikan makna-makna Al-Qur’an”.
Bahkan Al-Wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan Asbab An-Nuzul.
Urgensi pengetahuan akan asbab An-Nuzul dalam memahami Alqur’an yang di perlihatkan oleh para ulama salaf ternyata mendapat dukungan dari para ulama khalaf. Menarik untuk di kaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang mengambarkan Al-Qur’an sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan  sepersepuluh dari bagiannya terendam di bawah perairan sejarah. Dan hanya sepersepuluhnya dapat dilihat.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi asbab An-Nuzul dalam memahami Alqur’ansebagai berikut:
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat ayat alqur’an.
2.      Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3.      Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus As-sabab) dan bukanlah lafaz yang bersifat umum(umum allafaz).
4.      Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-qur’an turun.
5.      Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk menatapkan wahyu kedalam hati orang yang mendengarnya.[15]

E.     CARA MENGETAHUI ASBAB- AN- NUZUL
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatnya (pentransmisian)  yang benar (naql as-shalih)  dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.
Al-wahidi berkata :
لا يحل القول فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدواالتنزيل ووقفوا على الاسباب وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Para ulama salaf sangatlah keras dan ketatdalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul, ketetatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat ( para rawi) sumber riwayat (isnad) dan redaksi berita (matan).[16]

F.      SUMBER- SUMBER ASBAB AN-NUZUL
Satu satunya cara untuk mengetahui asbab an-nuzul adalah dengan mengetahui periwayatannya dan mendengarkan dari generasi yang menyaksikan langsung turunnya Al-qur’an yang mengetahui asbab an-nuzul dan dapat menjelaskan maksud maksudnya. Muhammad bin Sirin pernah bertanya kepada Ubaidah tentang satu ayat Alqur’an. Ubaidah menjawab,”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Generasi yang mengetahui asbab an-nuzul, telah pergi.” Para sahabat adalah sumber utama untuk mengetahui asbab an-nuzul, sedangkan generasi sesudahnya hanya cukup dengan menukil. Para sahabat mengetahui indikasi indikasi yang tersimpan dalam ketentuan ketentuan hukum kerena mereka telah bersama sama dengan Nabi. Mereka mengetahui tindak tanduk Nabi dan menaati setiap ketentuan ayat yang turun kepada beliau. Di samping itu,mereka langsung menyaksikan turunnya al_qur’an.[17]

G.    REDAKSI REDAKSI ASBAB AN-NUZUL
Redaksi dari riwayat- riwayat yang valid tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan asbab al-nuzul suatu ayat. Redaksi redaksi itu, diantaranya ada yang berupa pernyataan yang jelas, ada pula berupa pernyataan samar samar.[18]
Terhadap ungkapan para sahabat misalnya “ayat ini di turunkan dalam persoalan ini....” para ulama berbeda pendapat: Apakah menunjukkan Musnad yang berarti juga menunjukkan asbab an-nuzul atau menunjukkan penafsiran saja. Al-Bukhari memasukkannya dalam asbab an-nuzul, sedangkan yang lainnya tidak. Umumnya kitab kitab musnad menunjuk istilah di atas, seperti Musnad Ahmad dan yang lainnya. Hal itu berbeda apabila dalam ungkapan para sahabat  mengungkapkan terlebih dahulu tentang sebuah sebab lalu menyebutkan ayat yang turun. Untuk ungkapan sahabat semacam ini, semua ulama menyepakati sebagai asbab an-nuzul.
Dalam Al-Burhan, Az-Zarkasyi menuturkan bahwa merupakan kebiasaan yang cukup dikenal apabila para sahabat dan tabi’in mengatakan, “ayat ini di turunkan dalam persoalan ini...” maka maksudnya ayat adalah ayat itu mengandung ketentuan hukum ini... Dan bukan dimaksudkan untuk menunjukkan asbab an-nuzul . hal ini termasuk persoalan mengambil ketentuan hukum pada suatu ayat, bukan persoalan perincian latar belakang turunnya.[19]

H.    PERLUNYA PENGETAHUAN TENTANG SEBAB AL-NUZUL DALAM MEMAHAMI ALQUR’AN
Mempelajari dan mengetahui sabab Al-Nuzul bagi turunnya al-qur’an sangat  penting, terutama dalam memahami ayat- ayat yang menyangkut hukum. Para ulama telah menulis beberapa kitab khusus tentang sebab- sebab turunnya ayat – ayat al-qur’an dan menekankan pentingnya mengetahui asbab an nuzul  dengan pernyataan pernyataan yang tegas. Di antaranya kitab yang paling populer membahas ilmu ini adalah kitab Asbab Al- Nuzul  karangan Al- Wahidi (wafat 427 H), dan As-Suyuti ( wafat 991 H.) menulis kitabnya Lubab Al-Nuqul Fi Asbab Al-Nuzul. Tentang perlunya mengetahui asbab Al-Nuzul, Al-Wahidi berkata: “ Tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami ayat Al-Qur’an. Sebab, pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Sebagai contoh tentang bahaya menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya ialah penafsiran Usmab bin Mazun dan Amr bin Ma’addi kariba terhadap ayat:
}§øŠs9 n?tã šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Óy$uZã_ $yJŠÏù (#þqßJÏèsÛ #sŒÎ) $tB (#qs)¨?$# (#qãZtB#uä¨r (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# §NèO (#qs)¨?$# (#qãZtB#uä¨r §NèO (#qs)¨?$# (#qãZ|¡ômr&¨r 3 ª!$#ur =Ïtä tûüÏYÅ¡ósçRùQ$# ÇÒÌÈ  
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S Al-Maidah 93)
            Mereka membolehkan minum khamar berdasarkan ayat ini. As Suyuti berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui sebab turunnya ayat ini. Tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab, Ahmad, An-Nasai, dan lainnya meriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang orang yang ketika minum Khamar diharamkan mempertanyakan kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya minum Khamar.
            Kekeliruan yang serupa terjadi juga kepada Marwah bin Alhakam dalam memahami ayat tanpa mengetahui sebab turunnya  ia memahami turunnya.
Ÿw ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿtƒ !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿtƒ Ÿxsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÑÑÈ  
“ janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”. ( Q.S Ali-Imran 188)
 Sebagai ancaman bagi orang –orang Mukmin. Kerena itu, ia menyuruh penjaganya menanyakan kepada Ibnu Abbas. Sekiranya setiap orang yang gembira dengan apa yang diberikan kepadanya dan senang dipuji dengan apa yang di lakukannya disiksa? Ibnu Abbas menjawab:  “Apa hubungan kamu dengan ayat ini?  Hanya saja, Nabi memanggil orang orang yahudi dan menanyakannya dari  Nabi. Dan menceritakan hal lain kepada Nabi. Dalam hal itu, mereka memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka berhak pujian atas apa yang mereka berikan kepadanya. Mereka merasa gembira dengan kemampuan mereka menyembunyikannya. Kemudian, ibnu Abbas membacakan ayat:
øŒÎ)ur xs{r& ª!$# t,»sVŠÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# m¨Zä^ÍhŠu;çFs9 Ä......¨$¨Z=Ï9¨ûtù|¡øtrB  tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿtƒ !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿtƒ ........
“dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, sampai kepada”.....gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan .........” ( Q.S Ali- Imran 187-188)
            Dari dua contoh yang dikemukakan ini dapat dipahami betapa bahayanya memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya. Namun demikian sebagaimana telah di terangkan sebelumnya tidak semua ayat al-Qur’an harus mempunyai sebab turun. Ayat ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus di ketahui sehingga tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa di pahami.[20]

I.       KISAH NUZUL AYAT
Menanamkan sebab turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sesungguhnya mengisyaratkan kepada dzauq (perasaan) yang tinggi. Sebenarnya, asbab an-nuzul  tidak lain dari pada kisah yang dipetik dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya maupun mengenai orang- orangnya. Dan kisah nuzul mendorong kita untuk membaca kisah itu setiap masa dan tempat serta menghilangkan kejemuan, kerena kita merasakan bahwa kisah kisah (kejadiaan-kejadian itu) seolah- olah baru saja terjadi.[21]
J.      Kaedah yang Terkait dengan Asbabun nuzul.
Ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbabunnuzul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut, yakni:
1.      العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب(yang menjadi patokan adalah keumuman lafadz, bukan karena sebab yang khusus), ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama.
2.      العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ(yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafadz). Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang khusus harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.
Dalam masalah tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassir dan ahli ushul fiqh. Menurut jumhur ulama tafsir dan ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah yang pertama, yaitu: memahami ayat dengan keumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya. Implikasinya adalah, walaupun satu atau beberapa ayat diturunkan pada suatu kasus, maka hukumnya berlaku secara umum sesuai dengan kandungan lafalnya, dan berlaku secara luas dalam kasus yang sama. Sebagai contoh ayat dzihar yang turun untuk menjelaskan hukum yang berkaitan dengan ucapan Salmah bin Shakhr, ayat li’an turun dalam perkara Hilal bin Umayyah serta ayat qodzaf atas orang-orang yang menuduh Aisyah, namun kemudian hukum ayat-ayat tersebut diatas berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan seperti mereka.[22]
Adakalanya memang ayat turun karena sebab khusus dan menerangkan tentang seseorang secara khusus, seperti firman Allah: “Dan akan menjauhinya orang yang paling bertaqwa, yang selalu memberikan harta bendanya untuk membersihkan diri”. Menurut para mufassirin yang dimaksud dalam ayat ini adalah Abu Bakar Asshiddiq, orang yang paling bertaqwa setelah Rasulullah, penggunaan kata (kalimah) dalam bentuk makrifah (dengan alif dan lam ta’rif) menunjukkan orang tertentu dan itu hanya satu orang yang tidak lain adalah Abu Bakar Asshiddiq. Pendapat ini sangat benar, namun kandungan ajaran dan pesan moral serta keteladanan dalam ayat tersebut berlaku dan bisa diterapkan untuk orang lainnya. Sebagaimana surat Humazah yang turun untuk menjelaskan sifat dan perilaku khusus dari salah seorang musuh nabi, meski demikian pesan ajarannya juga universal. Bahkan surat Al-lahab yang jelas menyebut Abu Lahab, konsekwensi hukumnya tetap berlaku untuk setiap orang yang memerangi Islam, bahwa mereka akan mengalami kecelakaan seperti Abu Lahab.
Tentang keumuman lafadz mengenai hukuman bagi pencuri yang  terdapat pada surah surat al-Ma’idah ayat 38, berbunyi :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ÷ƒr&...
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ...”.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi bahwa ayat itu diturunkan pada kasus seorang wanita yang melakukan pencurian pada zaman Rasulullah SAW, tetapi hukum ayat ini, yaitu potong tangan bagi pencuri berlaku untuk seluruh pencurian.
Sebagian kecil mufassir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufassir kontemporer berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnya bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini, Ridwan Al-Sayyid, tokoh pembaru Mesir, dan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur: (a) peristiwa yang terjadi, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tetapi, selama ini yang sering menjadi pertimbangan dalam kaidah hanya peristiwanya saja tanpa meneliti lebih jauh waktu terjadinya peristiwa tersebut dan kondisi pelaku peristiwa tersebut. Akibatnya, hukum umum yang diambil sering tidak sejalan dengan waktu dan para pelaku peristiwa tersebut. Bagi orang yang melakukan kejahatan pencurian, misalnya, hukum yang diterapkan tidak hanya diterapkan sesuai dengan peristiwa pencurian itu saja, tetapi juga dipelajari secara cermat waktu terjadinya pencurian, dan kondisi pelaku pencurian tersebut. Dengan demikian, ulama yang berpegang pada kaidah al-ibrah bi khususi as-sabab la biumumi al-lafdz berpendapat bahwa dalam menerapkan hukum suatu ayat pada kasus lain dilakukan melalui qiyas (analogi).
Untuk melakukan analogi ini, M. Quraish Shihab mengemukakan sangat penting dipertimbangkan faktor waktu dan pelaku, di samping peristiwa itu sendiri. Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya dan bahwa kenyataan itu mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat. Oleh sebab itu, dalam memahami suatu ayat, amat penting diteliti waktu terjadinya peristiwa tersebut sehingga analogi yang diterapkan akan relevan dengan tujuan ayat. Namun demikian, menurutnya perbedaan pandangan tersebut hanya muncul di kalangan mufassir dalam ayat-ayat yang bersifat umum yang tidak terdapat petunjuk di dalamnya bahwa ayat itu diberlakukan secara khusus. Apabila ada petunjuk yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku secara khusus, maka seluruh mufassir dan ahli usul fiqh sepakat memberlakukan ayat itu pada sebab yang khusus tersebut.[23]
K.    MANFAAT MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Banyak manfaat mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya akan memantapkan memberi makna dan menghilangkan kesulitan atau keraguan menfsirkannya. Ibnu Taimiyah berkata “mengetahui sebab turunnya ayat Al-Quran menolong seseorang memahami makna ayat, karena mengetahui sebab turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui akibatnya.
Ada beberapa manfaat mengetahui asbab nuzul, secara rinci Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam manfaat atau faidah,  sebagai berikut :
1.      Pengetahuan tentang asbab nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan agama-Nya melalui Al-Quran. Pengetahuan yang demikian akan memberi manfaat baik bagi orang mukmin atau non mukmin. Orang mukmin akan bertambah keimanannya dan mempunyai hasrat yang keras untuk menerapkan hukum Allah dan mengamalkan kitabnya.
Sebagai contoh adalah syariat tentang pengharaman minuman keras. Menurut Muhammad Ali Al-Shabuni pengharaman minuman keras berlangsng melalui empat tahap ,tahap pertama Allah mengharamkan minuan keras secara tidak langsung,tahap kedua memalingkan secara langsung dari padanya,mengharamkan secara parsial, keempat pengharaman secara total.
3.      Pengetahuan tentang asbab nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitan. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Daqiq Al Id ia berkata “ Ketrerangan tentang sebab turunnya ayat merupakan jalan kuat untuk memahami makna-makna Al-Quran”. Diantara contohnya ialah ayat ke 158 dari Suah Al-Baqarah kalau tidak dibantu dengan pelacakan asbab nuzulnya, pemahaman dan penafsiaran ayat tersebut bisa keliru. Ayat tersebut berbunyi:

¨bÎ) $xÿ¢Á9$# nouröyJø9$#ur `ÏB ̍ͬ!$yèx© «!$# ( ô`yJsù ¢kym |MøŠt7ø9$# Írr& tyJtFôã$# Ÿxsù yy$oYã_ Ïmøn=tã br& š§q©Ütƒ $yJÎgÎ 4 `tBur tí§qsÜs? #ZŽöyz ¨bÎ*sù ©!$# íÏ.$x© íOŠÎ=tã    
Artinya : Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.( Al-Baqarah : 158)
Dengan kata Fala Junaha, dapat diartikan bahwa rukun sai ibadah ( boleh) dan tidak mengikat. Oleh sebab itu Urwah salah seorang sahabat Nabi pernah berpendapat bahwa sai itu ibadah, dan tidak mengikat. Akan tetapi, kemudian dikritik oleh Aisyah, karena menurutnya, ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan pertanyaan orang-orang Ansar pada Rasulullah, tentang sai antara safa dan marwa,karena mereka sebelumnya tidak punya tradisi sai saat melakukan ritus ,pada zaman islamnya. Sehubungan dengan pernyataan mereka inilah ayat tersebut diturunkan, dan Rasulullah mewajibkan melakukan sai antara kedua bukit tersebut.
3.      Pengetahuan asbab nuzul dapat menolak dugaan adanya hasr atau (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung hasr atau pembatasan, Seperti firman Allah:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Q-S Al-an’am :145).[24]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hasr (pembatasan) dalam ayat ini tidak termasuk dalam maksud itu sendiri. Untuk menolak adanya hasr (pembatasan) dalam ayat ini, ia mengemukakan alasan bahwa sehubungan dengan sikap orang-orang kafir yang suka mengharamkan kecuali apa yang di halalkan oleh Allah dan meng halalkan Apa yang di haramkan oleh-Nya. Hal ini karena penentangan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
4.      Pengetahuan tentang asbab nuzul dapat meng hususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama’ yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kehususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5.      Dengan mempelajari asbab nuzul diketahui pula bahwa sebab turun ayat ini tidak pernah dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkan).
6.      Dengan asbab nuzul, di ketahui orang yang ayat tertentu turun padanya secara tepat sehinga tidak terjadi kesamaran bisa membawa penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan orang yang salah.
7.      Pengetahuan tentang asbab nuzul akan mempermudah orang yang meng hafal Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunya.
Dan asbab nuzul suatu ayat mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan ummat manusia dini, salah satunya adalah sebagai landasan-landasan suatu penetapan hukum dan masih banyak lainya.[25]



[1] Imam Suyuthi Studi Al-Qur’an Komprehensif,  ( Surakarta, Indiva Media Kriasi,2008) h. 123
[2] Rosihan Anwar, Ulumul Quran, ( Bandung, Pustaka Setia, 2000), H.60


[3] Ibid.,  h.60

[4] Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, (Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988), h. 132

[5] Rosihan Anwar, Ulum Quran, ( Bandung, Pustaka Setia, 2010), H.61

[6] Muhammad Chirzin,  Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), h. 30. 
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Quran 1 ( Bandung, Pustaka Setia, 2006), H.89

[8] Manna’ Khalil al- Qathan Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an ( Bandung, Litera AntarNusa,2007) H. 108
[9] Rachmat Syafi’i , Pengantar Ilmu Tafsir ( Bandung, Pustaka Setia, 2006), H. 24

[11] Ibn Qayyim Al-Jauziah, Belajar Mudah Ulum Al-Qur'an. (Jakarta: Lentera, 2002), h. 130.

[12]   M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an., (Bandung: Mizan, 1994), h. 89.
[13] Rahmat Syafe’i, op.cit., h. 31
[14] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit., h.99
[15] Rosihan Anwar,op.cit.,h.62

[16] Rosihan anwar, opcit., h. 65

[17] Rosihon, Mutiara Ilmu- ilmu Alqur’an ( Bandung, Pustaka Setia,1999) h. 30

[18] Muhammad Afif, Ulumul Qur’an ( Bandung, Pustaka Islamika, 2002) h. 143

[19] Rosihan, op.cit., h. 31
[20]  Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit., h.112

[21] Teungku Muhammad Hasbi Ash sdidieqy, Membahas Ilmu-Ilmu Pokok Dalam Menafsirkan Al-quran ( Semarang, Pustaka Rezki Putra,2009) h.14
[22] Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Qur’an. (Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., jilid I), h. 110
[23]   M. Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an., (Bandung: Mizan, 1994), h. 89.

[24] http://manfaat asbabun nuzul .blogspot.com/2013/04/asbabun-nuzul.html

[25]Thamrin, Husni, Muhimmah ulumul qur’an, (semarang: Bumi Aksara 1982) h. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar